Sudah 6 hari di tahun 2024. Aku belum memiliki kesadaran baru untuk mengatur kembali pola makanku. Untuk kembali ke setelan awal saat aku menjalani pola makan yang dianjurkan oleh Tabib. Menghentikan semua makanan olahan, ayam, nasi, tepung, minyak, gula, pedas dan MSG.
Waktu itu, aku pernah mencoba dan berhasil dalam dua minggu pertama secara konsisten. Tubuhku merespon dengan baik, memang berat badanku turun secara drastis. Tapi tubuhku terasa jernih, segar dan ringan. Meski ada hal lain yang harus kuhadapi, mata yang agak berbayang dan konstipasi.
Yang aku sayangkan adalah hilangnya kesadaran, terjadinya sangat perlahan, namun sulit untuk mengembalikannya. Dua minggu belum terlalu cukup untuk membuat jalan baru di rimba sinaps kepala. Entropi terus menarik turun. Keinginan untuk memuaskan hasrat terus menerus berjaya. Aku bahkan tak bisa menunda dan menumpulkan segala nalar yang bisa membantuku kembali ke jalan yang seharusnya.
Tabib yang membantuku sudah berusia tua. 78 tahun. Aku merasa bersyukur, masih bisa mengenalnya dan melakukan terapi di bawah bimbingannya. Dua batinku terus tarik menarik antara rasa bersalah karena tidak menjalani terapi dengan benar, tapi juga menuruti kehendak lemah untuk memuaskan lidah dalam sekejap.
Seperti tubuhku yang merespon dengan cepat, akupun bisa melihat kembali kondisi tubuh dengan memberinya makanan yang tidak layak. Kulit kering dan menggelap, berat badan bertambah, perut buncit, kesulitan fokus juga. Belum lagi efek yang berdampak di dalam.
Semua kuncinya adalah tiada persiapan. Seperti perang, aku selalu takluk di medan perang karena tidak membawa bekal persediaan. Mungkin aku tidak perlu afirmasi apapun selain bertindak. Aku akan bertindak segera dan tanpa perlu memikirkan apapun.
Lidah, kenapa lidah hanya mau memakan yang enak-enak saja. Apa itu enak? Apakah enak artinya sama bagi semua manusia? Apa yang terjadi setelah merasa 'enak'? Siapa yang mendefinisikan enak? Apakah makanan sehat itu tidak enak? (WAIT AKU AKAN TW DULU)