Allah sangat menyayangiku, Ia selalu mengiyakan doa yang kuminta agar aku menjadi orang yang pandai bersyukur. Satu demi satu, Ia membantu mengupas lapis demi lapis kehidupanku. Menjelang usiaku yang semakin matang, ia semakin menggenapi perjalanan spiritualku.
Melalui diriku, melalui lingkungan terdekatku, melompat hingga ke generasi-generasi diatasku. Jika ini bukan cinta, apalagi kah namanya?
Semua perasaan yang sedang bergulung di dalam dadaku begitu sulit untuk di katakan, rasa sedih, rasa takjub, rasa marah, rasa sakit, kecewa yang mendalam dan rasa welas asih yang besar setelah melihat perjalanan Ibu bapakku. Dua orang manusia yang juga melewati fase demi fase kehidupan mereka.
Aku telah hidup membawa derita yang kupikir adalah milikku sendiri, itu memang derita hebat yang berhasil mengekori sepanjang jalan hidup yang membuatku sulit bersyukur atas kehidupanku hari ini. Dibayangi trauma keluarga turun temurun bukanlah hal sederhana, ini amat rumit, membelit dan hampir terus membawaku untuk menghidupkan kembali suasana tragis itu seolah-olah hanya ada dua pilihan, kembali kesana atau menghentikan semuanya.
Seolah aku tak punya pilihan untuk hidup berkesadaran, punya pilihan untuk menghidupkan hidupku sendiri dengan otentik. Memilih jalan yang aku kehendaki, yang tidak membatasiku dengan kekhawatiran yang masih bersifat imaji. Jika kutelusuri jalan ke belakang, meski orang lain berkata "Jangan overthinking", "jangan di perdalam", "jangan terlalu sering dipikirkan", sesuatu yang bernama trauma bahkan lebih sering menyelinap di alam bawah sadar, tinggal di sana, menunggu kesempatan untuk ditemukan, sambil terus muncul dalam mimpi-mimpi yang menyakitkan.
Tak ada yang bisa bertanggungjawab tentang perasaan itu, dan sebelum aku mempelajari Inherited Family Trauma aku bahkan tidak menyangka bahwa perasaan itu menghidupiku untuk menjagaku, aku sering merasa gagal dalam kehidupanku mencapai sesuatu yang aku idealkan, aku terus terbentur pada dinding transparant yang menyisakan perasaan tidak berharga, terancam dan akan ditinggalkan, kepada siapakah seharusnya aku menuntut perlindungan dan rasa aman ini?
Bersamaan dengan proses mempelajari IFT dan KEO ini, Tuhan yang menggenggam jiwakupun menuliskan kenyataan tentang konflik yang harus diselesaikan dengan pasanganku. Permasalahan itu sedikit banyak menyentuh core languange/bahasa inti penderitaanku, dan DUAR, akupun terus menerus patah, namun di tengah badai pergulatan batin itu, aku terus mengatakan pada diriku, mantra yang biasa namun begitu sulit untuk diimani, THIS TOO SHALL PASS.
THIS TOO SHALL PASS.
Namun, disana aku melihat diriku yang kehilangan banyak rasa cinta pada dirinya. kerendahdiriannya, perasaan tidak aman dan sesekali pikiran gelap yang memenuhi kepalanya. Dia bahkan tidak bisa mengingat apa yang paling penting bagi dirinya. Tapi, entah suara dari mana yang terus mengatakan, bahwa setelah ini semua berlalu, setelah engkau menyembuhkan apa yang sakit, menata ulang apa yang berantakan, setelah engkau berhasil mengarungi laut pikiran yang dalam dan gelap, kau akan... kau akan terlahir kembali menjadi sebuah pribadi dengan tangga spiritual yang lebih tinggi. Kau akan menjadi dirimu, otentik menghidupi kehidupanmu.
Tulisan diatas aku tulis tepat 3 hari sebelum aku menjalani proses Inherated Family Trauma dengan coachku. Aku akan menulis lagi pasca proses IFT healingku. Semoga semua usaha, sampai.