Berkali-kali flightku di batalkan karena asap menghalangi jarak pandang pesawat yang hendak take off. Baru sekali ini di antara puluhan kali bolak-balik kalimantan- Jawa, hatiku di himpit distorsi waktu. Kegelisahan hatiku membuat suasana semakin menjadi-jadi, di antara pekikan kecewa dan amarah para penumpang, mungkin hanya aku yang tidak bisa berkata-kata, tapi segalanya jelas-jelas terlihat lebih kacau pada diriku, mata merah, berkeringat dingin sebesar biji jagung lalu gerakan kikuk yang tercipta dari tak teraturnya detak jantung.
Flight sudah di batalkan dua kali. Entah harus menunggu berapa lama. Ketukan jemariku dan gerakan berisik dari sol sepatu yang sengaja ku hentakan di lantai, membuat kursi tunggu di sebelahku di tinggalkan satu persatu. Hati mereka panas, tapi jadi lebih panas bila bersebelahan dengan penumpang yang gusar macam diriku. Ku hela nafas panjang, ku pejamkan dan menghembuskan nafas perlahan. Ah, tidak berhasil. Sial, kataku pelan hampir berbisik merutuk diriku sendiri.
Dengan gemetar, ku sandang tas ranselku menuju kamar mandi. Berulang kali mencoba mencuci muka, tapi apa lah yang telah terjadi padaku sampai-sampai, mengangkat air ke wajahku pun aku tak sanggup. Sadar karena usahaku sia-sia, aku ambil obat penenang dan menenggaknya. Sudah lama sebenarnya dokter pribadiku menghentikan resepnya, tapi kali ini beliau tak berkutik ketika ku katakan, aku akan mengakhiri segala penderitaan ini dengan membebaskan apa yang menderaku bertahun-tahun.
Pukul 1 siang ketika wanita bersuara formal mengumumkan bahwa nomer penerbanganku akan segera berangkat.
'Akhirnya' kesenangan sementara ini cukup mentenagaiku untuk naik dan duduk di dalam pesawat. Tak berapa lama aku pun tertidur, sebuah jeda yang mampu menyelamatkanku dari ketegangan yang ku ciptakan sendiri, sejenak mengendurkan otot dan urat saraf dan membiarkan jantungkuu berdetak dengan lebih tenang.
"Kamu yakin, mau nengok ayah, ras?" Suara cempreng kakakku, padahal dia laki-laki, membuyarkan lamunan.
Ku benahi posisi dudukku, mencoba lebih santai dan menggumam 'ya'
"Kenapa?"
"Apanya yg kenapa?"
"Maksudnya kok mau mengunjungi ayah, gitu?" Suara Pras dibuat seformal mungkin, sangat kelihatan dan di tekankan untuk tidak terdengar menyelidik
Aku diam beberapa detik, mencoba memutar otak untuk berbohong tapi ah, percuma
"Aku dengar beduk, kemarin"
"Hah? Beduk? Beduk apa?" Pras kelihatan kaget mendengar suranya yang tiba-tiba terlalu bersemangat, dia kembali mengendorkan bahunya ke belakang, mencoba fokus pada kemudi
"Beduk panjang, tahu? Bedug yang bunyinya sangat panjang. Bedug yg di bunyikan untuk mengabarkan orang meninggal"
Pras terkesiap, dia meminggirkan mobil ke tepi jalan dan menghadapkan wajahnya padaku, matanya sudah kelabu seolah-olah dia hendak menghujankan ribuan air mata dari sana
"Kamu mau bahas ini kah, saras? Ini kah saatnya?"
"Tidak" kataku lemah "aku hanya mau bicara tentang ini pada ayah"
Pras kelihatan kecewa tapi dia tak memaksa. Hari hampir gelap ketika mobil pras sampai di area pemakaman umum.
Aku kembali gemetar, kikuk dan detak jantung tak beraturan, sepertinya efek obat penenang sudah habis. Kini aku telah menjadi diriku sendiri tanpa di sangga obat2an itu.
Aku berdiri di kaki makam Ayah. Pras mengawasi dari balik pagar. Angin sore membelai tubuhku yang ternyata baru ku rasakan lelahnya. Aku terburu-buru sejak kemarin sore, sesaat setelah mendengar beduk bertalu, yang di tanah kalimantan entah artinya apa. Segera aku ajukan cuti untuk menjenguk makam ayah.. yang sejak 17 tahun lalu ia pergi, tak sekalipun aku menjenguknya.
Suara Beduk itu menjadi pemicu, menjadi kunci masa lalu yang selalu ku tunggu-tunggu.. yang sering ku kira-kira, gerangan pertanda alam apa kah yang bisa memanggilku kembali menjadi manusia. Yang di izinkan menangis, yang memperbolehkan aku menangis. Ini lah tempatnya, meski ia sudah lama pergi. Dia lah yang membuatku tak lagi bisa menangis
"Ayah"

