EE : First World Problem & Imperfection
10. First World Problem
Diskusi ini dibuka dengan pertanyaan; jika hidup makmur dan nyaman, akankah membuat masalah kita berkurang. Apakah dalam batin kita akan lebih sejahtera? Motif pemakaian keuangan itu terkait erat dengan psikis manusia, karena menurut buku The Psychology of money, kekayaan pada titik tertentu tidak lagi menambahkan nilai bahagia, nilai memuaskannya hanya sampai pada status kita menjadi otonom/kemandirian, maka uang itu sudah cukup.
karenanya, problem itu tetap ada meski di tahap kehidupan yang makmur.
Menurut Morgan Housel, sebenarnya bukan soal kekayaan itu sendiri, itu rasa insecure kita, over work, bekerja melebihi kapasitas untuk mendapatkan pengakuan. Kita tidak bernani memikirkan opsi keyakinan lain selain keyakinan umum yang sudah tersedia; jika kita bekerja keras kita akan mencapainya. Asalkan banting tulang mati-matian kita pasti bisa kaya raya.
Secara teori bagaimana kita memandang uang, sangat tergantung dengan cara kita dibesarkan. Cara pandang tentang uang ini tidak berbasis prinsip, ini bukan ilmu pasti, ini adalah sebuah refleksi supaya kita tahu dan dapat merumuskan soal uang dan clear dengan cara pandang kita. Generasi yang dibesarkan strugling dengan uang akan berbeda dengan generasi yang dibesarkan dengan uang berkelimpahan.
Pertanyaan lain, Apakah kita punya truama soal uang? ini adalah refleksi pribadi masing-masing dalam kamar perenungan masing-masing.
11. Imperfection (Ketidaksempurnaan)
Gagasan tentang kesempurnaan manusia; menjadi bahagia sepenuhnya dan selamanya.
Sejak beribu tahun yang lalu orang tidak berekspektasi menjadi sempurna, namun sejak masa pencerahan/renaissance, pengetahuan dianggap bisa menyempurnakan manusia. Pengetahuan dianggap dewa, dengan pengetahuan semua akan beres sementara aspek kerja keras, disiplin, perjuangan dan pergulatan dengan sisi gelap diri kita sendiri tidak punya tempat lagi,
Orang modern banyak yang kabur melihat ini, Ketika kita tidak melihat perfection kita menjadi marah, kita mengutuk diri sendiri karena tidak sesempurna yang kita harapkan, kita hidup di masyarakat yang super optimis, over optimism, over expectation.
Munculnya depresi dan masalah-masalah mental lainnya hingga berujung munculnya suicide adalah bentuk kesombongan. Arogansi dalam bentuk yang lain, seolah-olah kita makhluk yang tidak boleh salah, kita tidak senang jika kita salah, kita marah pada Tuhan jika hal yang berjalan tidak sesuai yang kita inginkan.
Kita menjadi tidak realistis. Apa anehnya sih kalau manusia itu gagal atau salah? bukankah itu salah satu kodrat alami manusia, hal yang benar-benar alami dan manusiawi. Ekspektasi yang tinggi terhadap diri sendiri tak lain dan tak bukan adalah sumber stress.
Sekolah menjadi bengkel yang dianggap dapat mengubah peruntungan, keyakinan dengan disekolahkan, anak menjadi pintar dan menjadi baik, bermasa depan cerah ceria. Menurut mereka transfer pengetahuan itu membuat individu sudah pasti menjadi baik, kalau ada kasus yang akhirnya tidak baik dengan enteng kita mengatakan "yaaa, karena orangnya males aja tuh, ga niat tuh, kurang kerja keras, kurang iman" ketika ada kesalahan pada manusia langsung semua jari ditunjuk kepada individunya.
Kita berlomba-lomba naik ke hierarki tertinggi, gelar dari pendidikan diharapkan menjadi alat yang membawa kita ke puncak kekayaan, kita dirasuki pikiran bahwa menjadi rata-rata itu memalukan. Masyarakat sekarang membordir kita dengan yel-yel; JANGAN GAGAL! jangankan gagal, menjadi rata-rata atau biasa-biasa saja memalukan.
kita ingin anak kita lebih dulu start untuk mencari bakat, mencocokannya dan melenggangkannya ke kompetisi yang memberinya pengakuan, menjadi The creme de la creme, diatas rata-rata, top of the top.
Cita-cita yang merasuk ke seluruh kalangan dan sistem sekolah juga sangat kompetitif, sejak kecil kita terjebak masuk dalam sistem, mengganti identitas kita dengan ranking dan nilai-nilai diatas kertas. Tujuannya supaya diapprove/dihargai oleh sistem atau masyarakat. Jika yang dihargai itu bukanlah uang, mungkin katakanlah itu, kancing baju, maka kita akan berlomba-lomba mencari kancing baju.
Jika ada sekolah yang santai, itu privilledge. Mengejar-ngejar nilai itu buatan rezim kita dikendalikan dan di diperbudak nilai, belajar hanya demi mendapatkan nilai tidak bisa memikirkan lain. Secara tidak langsung (ataukah langsung?) kita telah diperbodoh oleh sistem dibuat tidak mengerti apa-apa soal masyarakat. Subject Humaniora dilenyapkan, merampas ruang untuk kita berpikir dan memikirkan ide-ide lain.
Jika kita tidak menundukan ego, maka ego yang akan menjadi Tuhan. Problem dalam lingkungan agama sangat mungkin terjadi, bukan berarti steril dari sudut pandang materialistis, kita perlu belajar agama mesti bisa melampaui apa yang ditafsirkan oranglain, kita mencari dan menggunakan akal serta nurani nurani karena realitanya, saat berhubungan dengan agama orang semakin tidak bisa berpikir dengan jernih.
Kita harus menyadari bahwa kita ini tidak tunggal, kita bisa jadi baik juga bisa jadi buruk, kita bisa on fire, bisa juga keluar orbit karenanya kita ini makhluk yang harus bisa menjaga kesadaran, kita akan banyak kecewa pada diri sendiri, kita harus siap sedia melihat fenomena, naik turun dan gerak-gerik ego kita, dan langkah jelas untuk kembali pada kesadaran dan membuat keputusan yang benar untuk dilakukan.
0 comments