Perempuan segala zaman
By Cicits - September 15, 2011
Semua perasaan-perasaan dan kestabilan temperamen saya memang bergantung pada Hubby seorang. Pernah, saya jadi males banget kerja, jadi ga konsen kalo Saya dan Beliau lagi bermasalah. Tapi lebih sering saya semangat kerja kalo teringat disana Hubby lagi kerja keras juga, cari uang buat membangun keluarga kecil kami.
Setelah seharian kemarin saya sibuk melankolis romantis, Cuma karena baca timeline Mona Ratuliu yang sedang ngrayain 9th anniversary dengan suaminya. Kurang lebih kalimatnya begini;
9 tahun serumah sama kamu, ..../ Bahagia. Bahagia. Bahagia.Saya tiba-tiba terbawa ke suasana mengenang masa-masa pacaran dengan Hubby yang hampir tiga tahunan itu. Kadang, karena sekarang sudah hidup satu rumah dengan berbagi hampir semuanya. Masing-masing kami melewatkan banyak moment yang dulunya ditunggu-tunggu. Seperti pas sabtu sore, pas hubby jemput kerumah buat ngapelin *duh kok bahasanya ya..* Saya suka peluk dia dari belakang lama-lama. Sampe rasanya hati saya ini penuuuh. Sekarang, masih juga saya peluk dari belakang kalo kebetulan beliau tidur duluan dari saya. Laki-laki ini yang dulu bikin saya gelisah dan suka bertanya-tanya; kapan ya kita nikahnya? Dan menjelang tahun kedua kami sudah hidup bersama rasanya, sayang sekali menghilangkan perasaan-perasaan yang dulu. Makanya kalo kebetulan saya lagi ‘dateng’ perasaan cinta yang menggebu-gebunya, saya suka over banget perhatian dan jadi super manis kaya pacaran dulu *bukan berarti sekarang gragas lho ya:D* trus, ujung2nya Hubby bilang; ‘Anda terlalu berlebihan perhatiannya pada saya’ Hahahaa.. Suka. Suka. Suka.
Saya pernah juga kesel sama Hubby. Kesel banget juga pernah. Walau dia adalah sumber cahaya saya *ejiye bahasanya* tetep yang namanya hidup satu rumah, setiap hari ketemu, ada aja yang bikin kontra. Dari hal kecil sampe yang gede. Dari berantem yang diem2an berhari-hari sampe yang keras2an. But, That’s marriage life. Kita ga bisa expect pasangan kita sempurna. Ga ada. Tapi saya percaya, kekurangan Hubby masih dibatas toleransi yang bisa dimengerti. Kadang saya punya ego begitu juga Beliau. Hubby juga pasti tahu benar banyak kekurangan saya, tapi masih, kita pulang kerumah yang sama, berbagi semuanya bersama-sama. Indah. Indah. Indah.Tapi, perasaan nyari pacar, pas pacaran, perasaan pas nentuin pasangan hidup, perasaan pas jadi seorang istri buat perempuan itu ga simple. Apalagi kita perempuan ini banyak pake perasaan. Kadang labil. Kadang plin-plan. Tapi, saya memang kepengen bilang buat adik2 saya dirumah, kalau jadi seorang perempuan itu memang wajar banget kalo bener-bener menjalankan kodratnya, bakalan di sayang Alloh banget.
Coba bayangin, udah sekolah pinter-pinter dari kecil, ikut-ikut lomba ini itu, ikut organisasi ini itu, kuliah bener, karir udah mulai bagus, eehhh.. ga sesuai sama kodrat sebagai seorang istri *menurut saya lho ya, maaf kalau salah* Walau bagaimanapun, menurut Ajaran yang saya anut dan tauladan dari Rasulullah, kemuliaan seorang istri ada pada Suaminya. Tugas seorang istri melayani suaminya. Saya jadi pengen nangis pas dulu pernah ngobrol sama teman baik saya, bahwa nanti dia pasti akan mengurus anak dan suaminya dengan tangannya sendiri (Saat ini bekerja, jadi urusan rumah dibantu assisten rumahtangga). Walau saat ini saya masih hidup berdua dan mengurus suami, tapi waktunya masih kurang. Sangat kurang. Apalagi kemarin pas Hubby sakit. Flu dan demam tinggi. Terus saya mesti dinas keluar kota. Di taxi pagi-pagi airmata saya ngalir deres. Sedih. Malu, takut sama Alloh karena ga amanah.
Saya juga udah mikir buat merencanakan kemungkinan saya berkarya di bidang lain. Yang tidak menyita waktu banyak. Apalagi kelak kami akan memiliki anak-anak. Dengan lot pekerjaan seperti sekarang ini, rasanya saya tidak akan maksimal mengurus mereka. Memangnya apa sih yang saya kejar? Apa sih yang saya mau? Saya sekolah dari kecil sampe besar, dari belum tahu apa-apa sama sekali jadi sedikit tahu, dari yang engga bisa punya uang sampe bisa kasih ke keluarga. Hubby juga pernah bilang bahwa Bekerja keras dan mencari nafkah itu ada di pundak suami. Saya yakin, bahwa Hubby bisa menjaga dan memenuhi kebutuhan saya, tanpa saya harus bekerja. Tapi meski sebagai istri, saya adalah anak dari seorang Ibu yang ingin terus berbakti kepada Ibunya. Saya ingin sekali menabung supaya bisa memberangkatkan Ibu ke Tanah Suci, itupun rasanya tak akan pernah jadi sepadan dengan pengorbanan beliau kepada saya sejak saya dalam kandungan.Tapi saya akan terus berkarya, menghasilkan setiap koin untuk mejadi manfaat keluarga. Kami harus memiliki tabungan yang cukup untuk bekal di dunia dan diakhirat (Siapa yang tahu kapan Alloh memanggil pulang?) Tapi untuk setiap uang yang saya cari tidak harus diperusahaan khan ya? Semoga Alloh membukakan jalan dan kesempatan serta kemudahan untuk saya kelak.
Kemarin, Hubby cerita satu hal yang membuat seketika sekujur tubuh saya lemas seperti kehilangan darah. Saya tahu persis keluhan Abi kalo lagi sakit dan sepertinya ia kena Kolesterol tinggi. Duh Gusti, fikiran saya langsung takut. Kolesterol jahat berefek pada jantung dan stroke. Saya sungguh tidak akan sanggup hidup tanpanya. Karena itulah keinginan saya untuk memikirkan kesempatan resign ini semakin melebar. Yah, kalo difikir-fikir menjadi perempuan pada setiap waktunya membutuhkan banyak ilmu dan kebijakan yang bisa diambil dari keimanan. Tidak mudah menjadi seorang istri atau Ibu, sementara juga berkutat dengan passion pribadi. Karenanya Alloh menjanjikan surga. Entah apa yang perempuan-perempuan single diluar sana fikirkan saat mereka merindukan pasangan hidup, sibuk pedekate dan prospek, tapi apakah pernah mereka memikirkan, memiliki pasangan hidup berarti meniadakan diri sendiri dan mengutamakan kepentingan suami dan keluarga diatas segalanya.
Tapi hidup bersama suami saya ini, Bahagia. Alhamdulillah adalah kata yang mewakili segalanya.
0 comments