Lagi-lagi isak tangis terdengar. Aku memasang sikap waspada dan agak sedikit berhati-hati, kebiasaan menguping dan mendengarkan gerak-gerik gadis ini belum bisa aku hentikan, dari sekian orang yang bolak-balik di ruang sebelah, sepertinya gadis ini yang paling teguh pendirian
Langkah kaki Tara bolak-balik dalam ruangan, suara mondar-mandirnya yang terburu-buru mengusik beberapa benda hingga berjatuhan, seketika Plak! Suara tangan yang bersentuhan dengan pipi dengan kecepatan kencang, di susul tangisan pelan seorang gadis yang jelas-jelas di tahan.
Ah, bisa mati dia. Pikiranku selewat, ingin rasanya bersikap bak kesatria untuk menolong tapi nyaliku lebih ciut daripada ruangan sempit tempatku berpijak.
Isakan itu makin menjadi, lebih tergugu dari sebelumnya, sesuatu berdesir di tubuhku, menahan bayangan kengerian apa yang akan terjadi di ruang sebelah
"Sudah aku bilang, aku tak lagi mencintaimu!" Suara yang ku kenali itu memekik tertahan, dapat kubayangkan ia mencengkran kencang lengan seorang gadis dan menghujamkan tatapan matanya yang tajam. Keji tak berbelas-kasihan.
"Dan sudah sering ku bilang, untuk tidak mencariku ataupun mendatangiku. Paham?"
Aku berdiri tegang merapat di tembok, menelan ludahpun rasanya aku tak mampu seolah-olah hal itu bisa membongkar pengintaianku.
"Kenapa kamu begitu batu dan keras kepala, hah?"
Tak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut gadis itu, kecuali kecerobohannya karena ia masih bertahan di tempat yang sama. Ingin rasanya aku membisikan kata bahwa sebaiknya ia pergi, atau jika tidak, berlari sekencang-kencangnya menjauh dari laki-laki itu.
"Kamu tahu, aku.. aku.. sudah berkorban banyak"
Ah, akhirnya gadis itu membuka suara. Suara yang getir dan parau, mungkin kehabisan airmata atau bibirnya telah pecah dan berdarah akibat pukulan yang membabi buta.
"Lalu???" sambil menendang sesuatu yang amat keras, kemungkinan adalah meja di ruangannya, Tara memotong ucapan gadis itu dengan cepat "apa itu jadi masalahku?"
Ucapnya dingin. Dan tentu saja bengis.
"Aku tidak bisa pergi lagi sekarang, tak ada tempat buatku pulang"
Ah, sudah ku duga. Tara pasti lagi-lagi menjerat gadis polos, membohonginya, membuat mereka meninggalkan rumah dan melawan orangtuanya, lalu di campakkan seperti perca. Tidak aneh lagi bagiku.
"Dan aku terlalu mencintaimu" gadis itu memohon. Mungkin sekarang sudah berlutut di kaki Tara.
"TAK SUDI!" Tara menendang sesuatu hingga terjerembab, membuat hiasan yang menggantung di dinding bergetar.
Aku bisa membayangkan ekspresi Tara saat mengucapkannya, cinta yang telah hilang berganti dengan rasa jenuh dan muak, seringai jijik pasti kini menyorot dari matanya.
"Walau kamu bunuh aku, aku tak kan pergi'
Mataku terbelalak. Gadis bodoh. Kenapa mengucapkan kalimat tolol seperti itu. Sudah buta kah mata hatimu hingga tetap mencintai orang yang membuatmu terhina, sakit dan gila.
Tapi, aku rasa, ruang kecil di balik tembok ini tak keberatan menerima 1 penghuni lagi, aku jadi bisa punya teman, itupun kalau nasib si Gadis tak malang sepertiku, hilang dan tak pernah dicari.
Saat terdengar suara pisau di hujamkan 2x. Aku berharap keberuntungan tak selalu setia mengekor pada Tara, jika tidak, dua jasad yang berjejalan di balik tembok ini akan terasa penuh sesak.