Mesin Tik tua
"Apa bentuk hidup yang kau harapkan dengan melekat pada barang seperti ini?"
Bapak mendorong sejengkal mesin tik tua menjauh dari hadapanku, saat aku hanya bisa menatap nanar jemarinya yang telah keriput mencengkram benda di hadapanku
"Sebenarnya kamu itu maunya apaaa? Kuliah tidak mau! Bekerja tidak mau! Apa kamu mau terus-terusan jadi benaluu?"
Aku menyembunyikan wajahku di balik rambut, mataku panas dan airnya mulai menggantung hendak jatuh menderas terjun ke pangkuanku
"Jawaaaaab!" Teriak Bapak. Tapi aku membeku. Seperti tadi pagi, seperti kemarin malam.. seperti ritual "tiga-kali-sehari" keran amarahnya yang meluap-luap meluber kepadaku... seperti belasan tahun yang telah berlalu..
Aku tak pernah menjawab, menghela nafaspun tak mampu karena bisa saja laki-laki tua pemarah ini menganggapnya sebagai bentuk perlawanan
Mama seperti biasa, bagai manekin menggantung kaku di jendela. Menatapku dengan ekspresi yang tak pernah bisa aku terjemahkan, seperti iba yang berkolaborasi dengan rasa benci. Seolah mengasihaniku sekaligus ingin menampar wajahku.
Sepersekian detik kemudian masih dalam kebekuan yang mencekam, Bapak mulai mendorong meja lebih jauh lagi dari jangkauanku. Derit suara meja tua melengking di kesunyian malam,
Dan tiba-tiba aku berdiri, menahan meja dengan kakiku, mempertahankan apa yang tersisa dari harga yang mereka lekatkan pada diriku
Adrenalin telah membakar seluruh urat saraf, menerobos memancar lewat kedua mataku dan perlahan untuk pertama kalinya, telah ku tatap wajah sang Bapak
Putaran-putaran kisah berkelabat,
Bagaimana dia yang telah merampas ibuku sejak aku terlalu kecil hanya untuk menikah lagi dengan alasan berjihad di muka bumi ini
Telah ia pisahkan seorang balita dari dekapan ibunya untuk surga dunia yang ia kejar tiada habisnya
Telah ia didik diriku dengan keras untuk menjadi kesatria seperti dirinya, seorang alim yang berakal sempurna tak bercela, agar mendapat tempat di masyarakat sebagai pemberi nasihat dengan keluarga besar yang berbahagia.
Untuk itu semua jika aku tak menurut maka pecut akan bicara yang menjadi teriakan.. menjadi pukulan.. sehingga telah lama aku tak mampu lagi berontak dalam kehidupan nyata
Karena sesungguhnya.. aku lah si benalu di keluarga barunya.. sesuatu yang tidak mampu ia usir atau di biarkan tetap tinggal. Aku adalah bercak noda bagi adik2 tiriku yang berprestasi dan mendapatkan penghargaan di sana-sini karena bimbingannya
"Aku sudah lama ingin berpisah denganmu"
Jawabku pada kemurkaan Bapak yang memancar
"Oooohhh jadi sudah berani bicara ya sekarang kamu?" Bapak menarik kerah bajuku
Aku tepis perlahan dengan tak melepaskan tatapannya, kukatakan dengan suara yang pasti
"Bagaimana bisa, Bapak mengharapkan aku menjadi sepertimu?" Tenggorokanku tercekat mengatakannya
"Tiga tahun usiaku. Tiga tahun saat bapak memulai hidup baru, saat itu aku telah menghentikan hidupku. Ibuku telah mati bunuh diri karena terlalu sakit untuk hidup di madu, aku ini sebenarnya juga sudah mati sejak lama"
Tanpa pukulan seperti biasa, epistaksis yang telah kuderita selama bertahun-tahun, kembali mengeluarkan darah dari hidungku
Bapak mundur selangkah dari hadapanku.. wajahnya terlihat takut dan terkejut
"Maka biarkan aku menjadi benalu dalam fikiranmu selama-lamanya"
Aku merampas mesin tik tua, sebuah alat untuk membelokanku dari cita-cita bapak terhadapku selama ini.
Aku tersenyum tajam padanya, baru kali pertama aku lakukan..
Lalu setengah berlari.. ku terobos jendela kamar apartemen di lantai 15 ini.. lalu aku jatuh bersama angin.. ada rasa sakit sekejap kemudian hilang tak berbekas.
---
----
------
Sebuah lorong seperti menghisapku dan mengembalikan kesadaranku
Ah, aku baru saja bermimpi!
Dan aku terbangun setelah mendengar suara yang sangat ku kenal berkata..
"Apa bentuk hidup yang kau harapkan dengan melekat pada barang seperti ini?"
...
Aku tersenyum dalam hati. Mimpiku nyata sebentar lagi.
0 comments