Intro :

30.12.14

Hy Mommies,
Seperti biasa selasa adalah resensi buku parenting. Buku kali ini adalah konsep parenting yang berasal dari Perancis, tapi uniknya di tulis berdasarkan pengamatan orang amerika.
Apakah kira-kira bisa cocok di terapkan oleh mommies kece indonesia di grup kijar ini? *bertanya a la Feni Rose.

Seperti biasa, tak ada orang yang membaca buku yang sama. Bagi yang berminat ebooknya.. sila ngabsen plus keterangan minta ebook yaaah.

Semoga menginspirasi!

-------------------------
Disclaimer :
1. Artikel berikut bisa di temukan di bentuk forum parenting lainnya. Artikel ini disebarkan dengan sumber yang disebutkan dengan tujuan berbagi informasi berharga.
2. Artikel berikut bisa jadi belum cocok untuk kondisi masing-masing keluarga namun memahami isi materi dengan baik bisa jadi sangat berguna di kemudian hari.
3. Dipersilahkan menyebarkan artikel dengan menyebutkan sumbernya.
4. Silahkan menyimpan artikel atau bisa mengunjungi blog Kijar ( on progress)
5. Di persilahkan untuk berkomentar dan bertanya atas isi materi untuk di diskusikan bersama-sama dengan bahasa yang hangat dan santun.

---------------------------
SOURCE :

http://mommiesdaily.com/2013/05/01/bringing-up-bebe-membesarkan-anak-gaya-perancis/
Bringing Up Bébé: Membesarkan Anak Gaya Perancis

by: Vanshe

Saat sedang berjalan-jalan ke toko buku, tanpa sengaja saya melihat buku Bringing Up Bébé tersampir di rak. Buku ini familiar di telinga saya, karena pada beberapa kesempatan, saya menjumpai pujian dan juga ulasan tentang buku yang pernah masuk ke jajaran New York Times Bestseller ini.

Buku ini memuat kisah sang penulis, Pamela Druckerman, seorang berkebangsaan Amerika Serikat (AS), yang kebetulan tinggal di Paris, Perancis, setelah menikah. Setelah melahirkan putrinya yang pertama, ia menyadari bahwa perilaku anaknya berbeda dari anak-anak Perancis yang ia temui di tempat-tempat umum seperti restoran, atau playground.

Ketika sedang makan di restoran, anak-anak Perancis mau duduk di highchair dengan tenang, menunggu dengan sabar  satu demi satu hidangan mulai dari pembuka hinggadesert, dan mereka dengan lahap memakan ikan dan sayuran! Pamela merasa takjub, dan bertanya “How do these Frenchs do that?”

Orang-orang Perancis yang ia kenal juga tidak pernah terburu-buru memutus percakapan di telepon hanya karena anaknya menuntut sesuatu. Mereka juga tidak mengubah ruangan di rumahnya menjadi penuh dengan mainan anak.

Beranjak dari situ, ia memulai observasinya atas “what French people do differently” dan menuangkannya di buku ini.

Beberapa hal yang Druckerman temukan, dan menurut saya sangat berharga untuk mejadi insight kepada para ibu di manapun di antaranya,

Sementara kelas menengah di AS mengalami masalah parentingberupa ‘overparentinghyperparenting‘, yang didasari pemahaman bahwa anak-anak adalah mahluk yang rapuh baik dari fisik maupun mental, parenting di Perancis didasari oleh prinsip menyeimbangkan peran.

Bagaimana maksudnya? Hal yang berbeda terjadi di Perancis, para orang tua melakukan pengasuhan tanpa kehilangan identitas. Sudut pandang yang dipakai adalah bagaimana mencapai keseimbangan antara peran sebagai ibu, istri, dan pribadi.

Terkait dengan poin pertama, orang Perancis percaya, dan menerapkan, batasan.

Mereka percaya bahwa bahkan sejak bayi, anak-anak adalah mahluk rasional yang bisa melatih self-control. Batasan itu bahkan diperlukan oleh anak agar mereka tahu apa yang diharapkan dari dirinya.Di sini, Druckerman membeberkan dengan detil penerapan batasan untuk anak dalam dalam sleep training, jadwal makan, dan ritual keluarga. Dengan memercayai bahwa bayi memahami segalanya, termasuk batasan, secara tidak langsung itu memberikan kepercayaan diri kepada anak, dan membantu menyusun irama pengasuhan yang cocok dan saling menghargai antara anak dan orang tua.

Perempuan Perancis juga tidak merasa bersalah atas segala hal. Sementara perempuan AS seolah memercayai bahwa seiring dengan kehamilan, juga tiba segenap pe-eryang harus dikerjakan dengan sempurna.

Hal ini dijelaskan melalui pengalaman Druckerman sendiri, yang ketika menyadari bahwa ia hamil, segera membeli begitu banyak buku dan membaca situs tentang kehamilan. Dari buku-buku dan situs-situs Amerika itu, ia mendapat begitu banyak informasi sekaligus daftar panjang “what to do and not to do.“Sementara temannya perempuan Perancis berkata, “These books can be useful to people who lack confidence, but I don’t think you can raise a child while reading a book. You have to go with your feeling.”

Teman yang sama juga bercerita bahwa dokter kandungannya tidak melarang ia memakan apapun, selama dalam batas wajar.

Terkait dengan makan-memakan, Druckerman juga menyoroti bagaimana “French women don’t get fat.” Bahkan ketika hamil, rata-rata perempuan Perancis seperti tidak terlihat sedang hamil jika dilihat dari belakang. Druckerman melihat bahwa perempuan Perancis memiliki support system berupa keluarga dan teman yang dengan terbuka mengulang-ulang pesan bahwa kehamilan tidak berarti akses bebas untuk makan dengan porsi berlebih. Wanita hamil harus makan dengan porsi ‘balanced meals‘ yang sama dengan orang dewasa lain. ‘Food craving‘ atau ngidam juga dianggap sebagai gangguan yang harus dikalahkan.

Membaca buku yang disebut Druckerman sebagai memoar ini, membuat saya sadar bahwa selama ini, gaya parenting di Indonesia terasa sangat ‘berkiblat’ ke AS. Tidak hanya karena beberapa kutipan membuat saya tertawa dalam hati karena terasa sangat familiar ditemui selama saya sendiri hamil lantas menjadi ibu. Tapi juga karena buku-buku kehamilan dan parentingyang banyak beredar di Indonesia, serta situs yang kerap dipakai sebagai referensi, berasal dari AS. Padahal metode parentingdi AS tidak bebas masalah, seperti yang Druckerman paparkan di buku ini.

Namun, buku ini tidak serta-merta mencap buruk metode parenting ala AS. Sebagai orang tua dan “konsumen” ilmu parenting, alangkah baiknya jika kita mulai melirik metode parenting dari belahan negara lain dengan kulturnya yang berbeda. Seperti saya, yang telah menemukan banyak hal dan cara pandang baru ketika membaca buku ini.

“To be a different kind of parent, you don’t just need a different parenting philosophy. You need a very different view of what a child actually is.” – Pamela Druckerman, Bringing Up Bébé.

*gambar dari sini dan sini

Intro :

29.12.14

Hy Mommies,
Artikel kali ini ditujukan untuk para mommies yang menunggu kelahiran anak ke 2, yang sudah memiliki dua anak atau yang masih mikir-mikir kapan nambah lagi hehehe..

Semoga menginspirasi!

-------------------------
Disclaimer :
1. Artikel berikut bisa di temukan di bentuk forum parenting lainnya. Artikel ini disebarkan dengan sumber yang disebutkan dengan tujuan berbagi informasi berharga.
2. Artikel berikut bisa jadi belum cocok untuk kondisi masing-masing keluarga namun memahami isi materi dengan baik bisa jadi sangat berguna di kemudian hari.
3. Dipersilahkan menyebarkan artikel dengan menyebutkan sumbernya.
4. Silahkan menyimpan artikel atau bisa mengunjungi blog Kijar ( on progress)
5. Di persilahkan untuk berkomentar dan bertanya atas isi materi untuk di diskusikan bersama-sama dengan bahasa yang hangat dan santun.

---------------------------

SOURCE :
http://www.janetlansbury.com/2013/04/helping-kids-adjust-to-life-with-the-new-baby/

Saya baru saja mendarat di LAX (Los Angeles) dan sedang menunggu pengambilan bagasi ketika saya mendengar ada suara-suara bernada amarah. Saya melihat ke tempat bagasi lain yang tidak begitu jauh jaraknya dan melihat seorang gadis tiga atau empat tahun mengenakan leging bermotif cerah dengan trendi t-shirt dan kacamata plastik berwarna pink, dia tampaknya sedang mencari-cari sesuatu dalam ransel polkadotnya sementara ayahnya melotot padanya dan membentak 'Baik-baik dong! Yang baik sama adiknya!!"

Ibunya berdiri beberapa meter yang juga melotot padanya sambil menggendong adik bayinya (sekitar 12 bulan). Gadis kecil itu tetap tenang, tapi menghindari tatapan mata ke dua orangtuanya. Dia tampak sendirian dan rapuh :(

Jika cuplikan adegan sesaat ini sering terjadi pada keluarganya, sulit untuk memahami gadis kecil ini pernah merasakan apa pun selain kebencian terhadap adik bayinya.

Kehadiran bayi baru seringkali menjadi peristiwa paling traumatik dalam kehidupan anak-anak dan jika transisi ini tidak ditangani dengan sensitivitas dan empati, beberapa anak tidak akan pernah benar-benar menemukan pijakan hidup mereka kembali. Karena yang dipertaruhkan adalah hubungan yang sehat dengan kedua orang tua dan saudara kandungnya, serta rasa aman dan harga diri yang di milikinya.

Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diingat selama melalui masa penyesuaian yang sulit itu :

1. Have reasonable expectations

Kehadiran seorang bayi yang baru menyebabkan perubahan besar dalam dinamika keluarga. Tidak peduli seberapa sering anak pertama 'meminta' seorang adik, realitas pergeseran dalam perhatian dan kasih sayang kedua orangtuanya membuat anak-anak merasa sangat kehilangan. Anak-anak sering merasa gusar, sedih dan kadang-kadang marah atau merasa bersalah, tetapi kebanyakan mereka takut kehilangan cinta orang tua mereka.
Kewalahan karena campuran emosi yang kacau balau, yang hampir tidak mungkin bagi anak-anak untuk memahami (apalagi menterjemahkan perasaannya), mereka bertindak mengeluarkan rasa sakit mereka melalui perilaku menjengkelkan yang kadang-kadang agresive. Perubahan emosinya juga bisa sangat ekstrem.

Orang tua mungkin akan terkejut ketika menemukan sisi 'tidak menyenangkan' anak mereka (yang mereka pikir tidak ada sebelumnya), terutama jika orangtua mengharapkan sang kakak menjadi penuh kasih, memuja adik bayinya dan semangat menolong adik bayi selama penyesuain awal. Perilaku-perilaku ini terjadi untuk menarik perhatian orang tua, terlebih karena anak mengalami krisis emosional, yang sangat dia butuhkan adalah jaminan cinta dan empati dari orangtuanya.

2. Encourage children to express feelings

Ada beberapa cara penting yang orang tua dapat ajarkan untuk membantu anak-anak mengekspresikan perasaan mereka dengan cara yang lebih sehat:

a. Ketika anak-anak berinteraksi dengan bayi - mencium atau menepuk bayi terlalu keras atau melompat-lompat di tempat tidur di sampingnya - Dengan tetap tenang tapi percaya diri katakanlah batasannya ("Ibu tidak bisa membiarkan kakak ..."),
Orang tua dapat bertanya sungguh-sungguh tanpa basa-basi, "Kakak merasa gemas sama adek bayi ya? Atau kakak marah ada adik bayi di sini? Memang kalau jadi kakak sering merasa begitu, tapi Ibu akan tetap bantu kakak turun dari tempat tidur yah? Ibu lebih senang kalau kakak duduk di pangku Ibu atau melompat-lompat di lantai, di sebelah ibu"

b.  Santai membicarakan masalah perasaan negatif sesering mungkin: "Menjadi kakak sangat sulit kadang-kadang. Itu normal untuk marah pada bayi atau ibu atau ayah, merasa sedih, cemas atau hanya ingin marah2 dan tidak tahu karena apa. Kalau kakak merasakan hal itu, kasih tahu ibu yah. Ibu akan selalu mengerti, mencintai dan akan membantu kakak melewatinya. "

Ini mungkin terasa berlawanan menyarankan perasaan ini kepada anak Anda (apakah hal ini tidak akan mendorong dia untuk merasa negatif terhadap bayi?). Kenyataannya adalah bahwa semakin Anda terbuka dapat menerima dan mengakui, bahkan menyambut pikiran dan emosi negatif anak Anda, semakin banyak ruang bagi Anda untuk membentuk ikatan yang benar-benar penuh kasih dengan saudara mereka.

3. But why mention negatives when my child seems fine?

Beberapa anak tampaknya mudah-mudah saja beradaptasi dengan kehadiran 'adik baru' Mengapa kita  harus repot-repot  memproyeksikan masalah yang tidak ada? Pandangan saya, bahwa anak-anak yang tampaknya lebih menerima dan toleran terhadap perubahan hidup yang besar ini membutuhkan lebih banyak dorongan untuk mengungkapkan perasaan negatif daripada mereka yang terang-terangan berjuang melewatinya. Tidak peduli seberapa positif sebuah perubahan akan selalu ada unsur ketakutan dan kehilangan. Kita semua pun begitu. Jika perasaan ini tidak ditangani dan di ekspresikan, perasaan-perasaan itu terpendam di dalam. Anda mungkin memiliki anak berperilaku baik, tetapi kemungkinan besar dia mengalami pergulatan batin dalam hatinya.

4. Avoid guilt-inducing comments

Ketika orang tua menunggu kelahiran bayi ke dua, teman dan kerabat akan sering berkomentar kepada anak sulung, "waah, pasti ga sabar untuk jadi seorang kakak yaa!" Tetapi pada saat itu sudah mulai terbangun rasa down pada anak yang lebih tua dimana kata 'kakak' tidak terdengar sebagai kata yang bagus. Mereka merasa bahwa fokus perhatian semua orang telah bergeser jauh dari mereka. Masa depan mereka merasa tidak pasti dan hanya akan bertambah buruk. Mereka membutuhkan seseorang yang memahami dan dapat meyakinkan mereka bahwa perasaan campur aduk mereka (terutama yang negatif) tidak akan jadi masalah sama sekali, atau mereka akan memendam perasaan 'kacau' ini di dalam hatinya.

5. Don’t judge Again,

Adanya harapan terhadap perilaku baik anak-anak dalam masa penyesuaian adalah manifestasi dari rasa sakit dan kebingungan anak kita. Ketika kita melabeli perilaku "tidak baik", "jahat" atau "buruk", anak-anak serius mengambil kata-kata ini secara pribadi ke dalam hatinya. Ini bukan hanya perilaku mereka yang buruk - mereka benar-benar jadi buruk. Ketika orang-orang yang mereka percaya dan paling dibutuhkan di dunia mengatakan bahwa mereka "tidak baik", mereka percaya, dan penolakan ini tertanam dalam.

6. Lessen tension by not sweating the small stuff

Anak kedua lahir dalam lingkungan yang berbeda dibandingkan dengan kakak atau adiknya. Memiliki kakak memang menarik. Jadi sebisa mungkin, Biarkan terjadi keramaian dan sedikit kekacauan, dan biarkan terjadi interupsi saat bayi bermain. Biarkan kakak mengambil mainan dari bayi ketika mereka "bermain bersama" selama aman secara fisik.
Memahami bahwa ini adalah bagian dari impulse perasaan lebih kuat dan simbolik dari persaingan anak yang lebih tua. Kebanyakan bayi tidak keberatan mainan di ambil dari mereka kecuali orang tua mereka sibuk melarang-larang kakaknya.
Bahkan, ini adalah salah satu cara mereka "bermain" dengan anak yang lain. Semakin sedikit reaksi anda berfokus pada perilaku yang tidak berbahaya, kurang menarik untuk anak yang lebih tua untuk mengulanginya.

7. Understand your child’s need for trust and autonomy 

Meminta bantuannya bila memungkinkan, terutama mengenai perawatan bayi. Ketika emosi anak berada di luar kendali, kesempatan untuk merasa mandiri memiliki efek menenangkan. Tapi juga jangan kecewa jika anak Anda ternyata tidak memenuhi harapan anda, karena mengatakan "tidak" juga merupakan cara untuk untuknya merasa mandiri.

8. One-on-one time

Periode waktu "hanya berdua" dengan anak-anak Anda adalah suatu keharusan, namun bagi bayi dan kakaknya adalah tentang kualitas, bukan kuantitas. Sisihkan setidaknya 20 menit sehari di mana Anda sepenuhnya hadir dan terfokus pada anak Anda yang lebih tua (yang mungkin berarti anda harus menidurkan bayi lebih awal). Kemudian, ketika Anda perlu fokus pada bayi,  Anda dapat dengan tenang mengakui, " Ibu bisa lihat bagaimana kakak tidak nyaman ketika ibu menyusui adik. Ibu tahu, ini sulit buat kakak. Ibu sangat menantikan waktu kita bersama malam ini setelah adek bayi bobo. Pikirkan tentang apa yang ingin kakak lakukan bersama ibu.. main apa ya kira2 kita nanti?"

9 foster the baby independent play

Seorang bayi yang bisa menghibur dirinya sendiri adalah anugerah yang kedua (setelah kelahirannya), karena bermain independennya akan menciptakan tersedianya peluang bagi orang tua untuk anak yang lebih tua tanpa harus selalu ada adik bayi di antara mereka.

Sediakan tempat yang aman, ruang bermain (tempat tidur atau kotak bermainnya-playpen akan baik-baik saja untuk bulan pertama), sehingga bayi tidak perlu pengawasan konstan. Balita Anda mungkin akan membutuhkan aturan ini, karena dorongan unyuk mengetes orangtua dengan mengganggu adik bayi bisa jadi sangat kuat, sibukkan sang kakak dengan bermain bersama anda. Selama adik bayi kooperatif dan dalam keadaan yang memungkinkan.

10. 
Respect your children’s continued need for boundaries and calm, helpful parents who are “on their side”

Meskipun besarnya kasih sayang atau perasaan bersalah mungkin menyebabkan kita untuk memudahkan aturan/batasan selama periode transisi dan kekacauan emosional ini,  anak-anak kita membutuhkan cinta dan rasa aman lebih dari sebelumnya. Mereka akan membutuhkan kita untuk memberi mereka peringatan seperti, "Ibu tidak ingin kakak menyentuh bayi ketika kakak berada dalam suasana hati yang gelisah ";
memberikan pilihan seperti, "kakak dapat tinggal di sebelah ibu dengan tenang,  sementara Ibu ngelonin adik bayi supaya bobo, atau kakak bisa bermain di ruang sebelah."
Kadang-kadang mereka membutuhkan kita untuk menindaklanjuti dengan lembut tapi tegas untuk sebuah instruksi dalam situasi terentu. Yang paling krusial, mereka akan membutuhkan kita untuk campur tangan jauh sebelum kita kehilangan kendali atau berpikir bahwa mereka "tidak baik" dan dengan semua keyakinan, ketenangan, kesabaran dan empati yang kita bisa kerahkan, akhirnya masa transisi ini bisa terlewati dengan baik.

How can I get my 2.5 year old son to be more independent? He is my sidekick, my errand running buddy, and we thoroughly enjoy each other’s company.  That being said, he seems incapable of doing anything without me right by his side, and honestly, it can get a bit frustrating. Am I asking too much of him at his stage of development?”I keep getting on his level and telling him that Mama needs to get some work done and that it’s his time to play, and when I’m done I will be able to play with him.  He seems to get to a point where he’s desperate for my attention and just keeps asking why I can’t play, or says “Mama play with me, Mama when can you play, etc.”  I almost feel as if we’re getting to a tough love approach, where I will have to impose “independent play time” each day so he’ll eventually learn how to play alone.  – Concerned Mom

Ah, the entertainment trap. It is such an easy one for doting parents to fall into, especially with the firstborn child. I would definitely have gone this route myself if my baby hadn’t sent me a profound and pivotal message in our first RIE Parent/Infant Guidance Class together.

For the first three months of my daughter’s life, I’d been entertaining her nonstop, assuming it my duty to occupy and engage her every waking moment with my activity while she remained mostly passive (which is all I thought she could be). Then, following my RIE instructor’ssuggestion, I placed her on her back on a blanket on the floor…and to my astonishment she lay there perfectly content for the two hour duration of the class.

My daughter’s message could not have been more crystal: Please stop keeping my mind so busy, Momma. I need a little time to think. 

Taking that giant step back to  my baby was the ticket to an exciting adventure, because I was then able to begin to know and enjoy my daughter while also witnessing the physical, cognitive, creative and therapeutic benefits of her play.

But even if we do get the memo about trusting our babies to be capable, active learners and allowing them some time to “be”, the toddler years present a whole new challenge. Toddlers are in the process of gaining independence and discovering their power. They are supposed to keep pushing until they find our limits – testing what it takes to make us jump and how high. This is not being “bad” — they’re just doing their job.

Taken at face value, our toddler’s age appropriate demands might lead us to conclude, “My child obviously needs me desperately and can’t possibly play alone!” As parents, we may also be reticent to assert our own needs and wishes, because we want to avoid confronting our child’s strong emotions. Either way, we can end up causing our children to “unlearn” to play and decrease their tolerance for boredom.

Here are some key steps to freeing children (and ourselves) from play and entertainment dependencies:

1. Learn a less intrusive way to play togetherLittle-known fact: when we sit quietly and are passive, yet receptive and attentive to our children while they play, they feel just as nurtured by our companionship (if not more so) than they do when we are actively involved.  It is a profoundly validating experience for children to be able to hold our interest without having to ask or work for it. Without a word of our praise, our appreciation is palpable.

When adults play with children in the conventional sense, we almost always end up directing, dominating, or at least altering the course of action somewhat. We also tend to “hook” children on our involvement, which makes their transition to solo play a more difficult, almost foreign concept.

Learning to be a play “supporter” rather than playmate takes practice, entails sensitive observation, open-mindedness, acceptance and, most of all, restraint (especially for those more inclined to do than watch). But once we get this down, it is an incredibly relaxing, satisfying, Zen-like experience.

When and how should we respond so as not to interrupt self-directed play? We simply take cues from our kids,  them to request our input, which they usually do by looking at us or expressing themselves verbally. Then we respond by narrating or “sportscasting” succinctly.

For example, let’s say our child is stacking blocks and the blocks tumble. If she doesn’t look towards us, it’s probably best not to say anything or even assume that this is a problem. If she does look toward us, or perhaps we hear her groan, we would then narrate (or “sportscast”): “I saw that. When you tried to put the red block on the top, the green and blue ones fell down.”

What if my child asks for help?Never say no to a request for help, but ask lots of questions and assist as minimally as possible. Using the block tower example, you might go close to your child and ask, “What are you trying to do?”

“I want to make a tower.”

“You have the blue and yellow blocks stacked here, what block will you use next?”

“That one.”

“Okay, so let’s see how you’ll place that green one on top of the yellow one…”

Usually, this type of support is all the help children need.

2.  Set limits with confidence, honesty and respect“I almost feel as if we’re getting to a tough love approach, where I will have to impose “independent play” time each day so he’ll eventually learn how to play alone.”

If it were even possible to force independent play, that would defeat the entire purpose. Play isn’t play unless it’s a choice. But it is up to us to quit our job as entertainment director, get our personal work done, etc., and I certainly don’t see this as “tough love”. The child who whines, “Mama play with me, Mama when can you play” is only doing his job, seeking a straight answer from us about our limits. In return, our role is to:

: “I am going to do some things in the kitchen” (Remember, our children can’t  possibly feel comfortable separating unless we are)

: “Would you like to help me shuck the corn or will you play in your room?”

: “Oh, I know you want me to keep playing with you. I see how upset you are. We can do that again after dinner. “

 so that separation is easier for your child to accept.

3

The more time children spend in passive-receptive mode, the less adept and comfortable they will be playing independently. So…

Avoid screen use or keep it to a bare minimum

Offer simple toys and objects that make for more active, creative play

Instead of offering specific play activities, wait for children to invent their own

Have no fear of boredom

Let whatever children choose to do (or not do) be “enough”

:

The more we do (or toys do)…

        the less our child does        the more our child thinks she needs us (or toys) to do for him        the less confident, capable, creative and fulfilled she feels

TEACHING TODDLERS CONSEQUENCES FOR THEIR CHOICES

BY KARA CARRERO LEAVE A COMMENT

My daughter has been 2 for three weeks now and it’s as if someone let her know that being two meant acting differently. Literally, it feels like a switch went off in her and now each day contains power struggles, meltdowns, and choices. Lots of choices. In the journey to foster her independence over the past several months, I have always given choices. But just like in real life, no matter our age, there are consequences for the choices we make. And teaching a toddler consequences for their choices is not easy.

HOW CONSEQUENCES FACILITATE EMOTIONAL LEARNING & WELL-BEING

While I constantly strive for peaceful parenting, it does not mean that there aren’t punishments or hard lessons to be learned. I feel like it is a dis-service to my children if they do not experience disappointment or if they do not realize that their choices directly dictate an outcome whether good or bad.

Part of raising children is preparing them for the world and life on their own by equipping them with the skills necessary to both succeed and cope with failures. In the real world that I have experienced, it’s full of disappointment, consequences, getting told no, and doing things I would rather not. And that’s life. Therefore, equipping my child with the wherewithal to handle that is vital. So to help encourage my daughter’s independence and to foster her emotional intelligence as well, I want to parent her in a way that she knows she is loved and I believe in her, but that she also knows what it’s like to fail or to make the wrong decision.

My middle school History teacher and mentor had a poster in her room that read “failure is not fatal”. As a perfectionist, I remember thinking in 6th grade that she clearly did not know that to me it seemed so that that it felt like mistakes were killing me from the inside. And to be honest, I have never emotionally conquered the concept of failure; even small mess ups sometimes feel like the end of the world. And far too often I waver in my own decision making because I don’t like living with even the small consequences.

That trait is not something I want to pass on to my daughter.

I want her to feel like she can conquer the world because she is capable, I want her to be able to let the little things roll off her shoulder, and I want her to be confident in her decision making regardless of the outcome. And that’s a HUGE part of both helping her cope with consequences and fostering a firm and independent spirit in her.

FOSTERING INDEPENDENCE IN CHILDREN THROUGH CHOICES

The strong-will that she has comes to her naturally and therefore her desire for for independence can sometimes be a challenge. But letting her “yes” be her “yes” and her “no” be her “no” allows her to learn what it means to stand by her decision.

So when she very clearly and adamantly chose to go barefoot in 40 degree weather and it made her feet cold, she had to stand by that decision. We talked about why it was a bad choice and then I asked her if she wanted to go back in to get shoes and socks. Of course she did. So we quickly marched back inside to help her prepare herself for the chilly weather.

Options are a part of being independent and every toddler desires to be able to choose what they want. Therefore, my husband and I constantly will give her options. She can choose what she wants to eat, choose what she wants to wear, and choose what she wants to do. However, we very clearly tell her, especially in disciplining moments, that she needs to think about it and make the right decision. Of course the “right decision” is not always the one she makes or she changes her mind and gets upset about it. Then we talk about how she should remember that for next time so she can make better decision.

Yesterday it was about not wearing shoes outside in the cold, today it was about food, and tomorrow it may be about taking a bath. They are small things in the grand picture of her life, but they are teaching her real skills about decision making and consequences. They are little incidences that build big character. So when she is faced with the really tough stuff as she gets older, she has already experienced both good and bad decision making. She knows she has to think it through and that she has to weigh consequences- both good and bad.

BUT WHY IS TEACHING TODDLERS CONSEQUENCES IMPORTANT?

When she is older and she has to make hard decisions, I pray that she can make them confidently. I pray that she will not waver because she is afraid of consequences, but that she will have learned to make bold choices after careful thought. I pray that teaching her consequences now will better her in the future and enable her to feel more confident in who she is.

When she experiences failure or disappointment, I hope she can handle it with stability and not feel like it’s the end of the world.When her friends are doing something that she feels is not right, my hope is that she will not blindly follow, but she will have the forethought to see what consequence may be ahead of her.When she encounters pre-marital sex, I pray that she will not feel pressured, but confident to stand by her decisions.When she has a big decision and makes it and then it doesn’t turn out as planned, I hope she has the emotional stamina to pull herself up and not feel defeated.When she is faced with defending what she believes and her faith, my desire for her is that she will not hesitate or be ashamed in any circumstance.When she experiences rejection, I pray that she knows that was not her choice and it will just inspire her to be even better and more confident.

Most importantly… when she gets older and experiences pains, heartaches, and consequences… and when she makes poor decisions… and when I am disappointed in any of the choices she has made… my prayer is that she knows I will be there for her, that I will talk her through it, and that I will stand beside her.

So today I may have had to coach her through eating a green bean because of a choice she made, but in the future I may have to help her through something much bigger and more important. In any incidence, despite any disappointment or frustration on my part, the message to my daughter is that actions have consequences, but I am always there and she is always loved and supported.

It can be incredibly hard to stay calm when our own children hit us. Both our instinctual physical defense system and intense emotions can get triggered in a flash!

I remember the period when one of my children hit me almost every day; I became scared of him, trying to steer clear of where he was. We know that children can feel it when we pull away so although it can feel hard to do, the key to reducing hitting is to connect more with our aggressive child.

Here are ten steps to reducing hitting behaviour in your children:

The first thing to do when our child hits us is to FREEZE.

Remembering our calm-down plan can feel impossible when we are hit. The feeling of pain will automatically trigger the “reptilian brain,” which is the part that makes our heart pound, breathing quicken and stomach flip. It is common to think that our child is out to get us. This part of our brain can hijack our good reason, making us scream or be rough with our child.

We need to take time to calm our fight-or-flight reaction, then help our child do the same. My calm-down plan in this case is to tell myself, “freeze sister” and then I count back from 11 to -1 by 2s (this odd number makes it easier for the brain to focus more on counting and less on shouting). It’s okay if you have to step into another room to regroup, as long as your child is safe.

Stop your child from hitting you, others or objects.

I grab my child’s arm when I see a hit headed my way. I do that firmly, yet gently and say, “No hitting. I will make sure you don’t hurt anyone.”

Remind yourself that your child is having a hard time “self-regulating.”

Self-regulation is our ability to assess a situation, which we find overwhelming and respond in a way that helps us calm down. John Hoffman wrote this wonderful document about self-regulation, which I suggest all parents read.

Respond thoughtfully with a limit statement.

Get to eye-level with your child and speak to her in a gentle voice. First comment by setting limits for your child’s behaviour by using a statement that includes:

1.     How you feel

2.     Validations of her feelings

3.     Explanation that the behaviour is unacceptable.

Something like this, “My arm is sore… you hurt me. I can see that you are angry. I won’t let you hurt me or anyone else. Hitting people is not okay.”

Consider where the hit came from.

Take a moment to ask yourself, What happened in her world to prompt the hit?

Is she: Disappointed? Upset that plans have changed? Not going to get something she really wants? In a compromised state? Missing you? Feeling you are too hard on her?

Identifying the source of the hit will tell you what the first feeling is. Anger/frustration is the second feeling, which likely provoked the hit.

Help your child identify the first feeling.

Use empathy to help your child work on the feelings behind the hit. For example, if your child hit you because she was sad her friend couldn’t come over, shine a light on that emotion. Talk about how you would feel like this, “I understand you are sad because Anna couldn’t come over. I feel sad, too, when I am excited to play but can’t.”

Accept if you have had a bad parenting moment and your child is angry with you.

If you did something that may have angered your child, talk to her about that situation. I wrote more about how do that in this piece, How To Do Parent-Child Relationship Repair.

Make it safe for your child to feel the first feeling.

When a parent is calm, understanding and patient, it is easier for a child to connect with the intense feelings inside her. Keep chatting with your child about the situation, focusing on feeling words. Once your child feels you are there for her and not going to make her feel badly, she will likely become sad, which is the usual culprit for hits.

Be a detective, asking questions about what is upsetting her, although steer away from “why” questions with younger children, as they don’t usually have answers to that even if the reason for the hit is apparent to you.

Talk about “mixed feelings

This is when you use a statement to explain to your child that it is okay to be angry, but at the same time, you know that hitting a person hurts him/her and that is NOT okay.

Make a plan to stop the hits next time.

With younger children, I use the term “angry bubbles” like this, “Next time you are full of angry bubbles and they turn your mad into mean, what can you do to make sure those bubbles don’t form into a hit? Let’s make a plan.”

With a toddler, try, “Hits are for pillows, not people,” or “No hitting, hurting, or throwing.” You can make a poster and draw symbols for those words. I explain more about how to react to toddler hitting in this piece, as it is a natural instinct to hit, and our job as parents to calmly train them not to. 

With older children, you could talk about how the brain works, specifically how to reel in the reptilian brain when it hijacks us. Consider different options to stopping the hits/throws/shouts that will actually work. Remember that this is a work in progress so keep repeating this process until the brain builds the bridge between the “freaking out” part of the mind to the rational part.

Here is an excellent example of a script to use when an older child hits by Laura Markham, PhD.

- See more at: http://www.yummymummyclub.ca/blogs/andrea-nair-connect-four-parenting/20141007/what-to-do-when-our-child-hits-us#sthash.gcLVnwXI.dpuf

When No Doesn't Mean No - Guest Post by Kelly Bartlett

Guest Post by Kelly Bartlett from Parenting From Scratch.

The word "No" can make a terrible first impression.

Sometimes it just doesn't convey everything it intends. Especially if it comes from a young child: it's not quite as literal as it seems.

Upon first impression, "No!" sounds like:

I refuse.I won't listen.I'm defying you.I don't respect you.

Those are usually our first thoughts upon being toldNo by our children. It's a feeling, an impression that rubs us the wrong way. We bristle at the blatant defiance.

Except you know how laughter doesn't mean a child is laughing at you (unless you're my goofy and highly entertaining husband), but is more of an expression of immense enjoyment and agreeability? It's a manifestation of all the happiness they're feeling in that moment.

A shouted No is like the opposite of that. It's the unpleasant feelings and unmet needs surfacing verbally in the easiest language available. No.

If we can take a minute to translate the No into what's behind it, where it's coming from, what it really means...

I don't like this.I'm angry.I disagree.I'm sad.I don't want to.I'm frustrated.I don't need help.I'm disappointed.I would really rather be doing something else.I'm autonomous and need to make my own choices.

...we get an expression of a valid feeling or a valid need. Yet we often find a reaction of our child's Nounacceptable. Children are quite capable of strong feelings and quite incapable of articulating them. "Using their words" is hard...except for the one that suffices when they don't know what else to say. No. It's a simple and powerful way to express complicated feelings.

Keep in mind that No is less about defiance and more of an expression of dislike (especially for the under-7 crowd). And since we want to teach our kids that all of their feelings and needs are always OK, we can start by finding their Nos acceptable. This means searching for that translation behind it; articulating and validating it for them.

I know you don't like this, and it needs to get done anyway.You'd rather not; you'd rather keep playing. I understand.It's a hard job, and I'm here to help you.You're angry. It's OK to be mad.You have your own ideas. What would help you get this done?

When it comes to a child's No, take a step back to consider what's behind it. Distance yourself from the defiance. Listen for the translation and give Noa second chance.

Kelly Bartlett is a Certified Positive Discipline Educator and a freelance parenting writer with a focus on child development, family relationships and discipline. She is the author of Parenting From Scratch, where she blogs about her family's endeavors in unconditional parenting. (www.parentingfromscratch.wordpress.com)

Kadang saya ga habis fikir sama media. Terus menerus menjual berita berkonotasi negatif seolah-olah.. kejahatan adalah satu-satunya nafas kehidupan media padahal saya yakin mereka hanya mencari keuntungan besar di balik berita-berita picisan macam yang sedang beredar sekarang.

Ya.. kita sewaktu-waktu perlu juga menengok ke berita bersuara sumbang untuk mengambil pelajaran, untuk lebih waspada, untuk memperingatkan saudara2 dan lini kehidupan kita sendiri. Bahwa kebathilan selalu berujung kepahitan.

Tapi kenapa media kini tidak menyediakan ruang bagi para pembawa kabar gembira (hanya manggis yang telah ada ekstraknya yg mendapat tempat. Just kidding)
Sekalipun ada, tempatnya hanya beberapa itupun belum tentu menang bersaing dengan para pecinta berita-berita bombardir.

Mungkin ini hari yang aneh, sebentar panas sebentar teduh, jadi saya sedikit mellow. Tapi hati saya perih membaca berita-berita yang tak seberapa pantas itu. Berita negatif, sama seperti yang positif, acapkali menginspirasi.

Kadang beberapa teman dengan sengaja menyebarkan berita-berita negatif dengan tujuan mengundang simpati atau sekedar mencoba berbagi. Padahal yang di untungkan pasti lah cungkok2 portal berita yang tiap detik menampung kincringan rupiah.

Ah.. mungkin harusnya diri sendiri yang menjadi security wall untuk tidak ikut2an tertarik meng-klik judul judul berita yang fenomenal itu.

Intro :

23.12.14

Hy Mommies,
Selasa seperti biasa, artikel bermuatan parenting yang berasal dari resensi Buku.
Kali ini datang dari buku berjudul 'Battle Hymn of The Tiger Mother' By Ami Chua

Buku ini sangat kontroversial di USA.. tetapi sebagai orang Asia.. kita tdk menganggap 'aneh' isi buku ini. Kenapa? Karena tipikal pola asuh orangtua se-Asia kurang lebih sama. Kita mengagungkan kehormatan terhadap orangtua dan memahami bahwa orangtua paling tahu yang terbaik bagi anak-anaknya (meski mungkin dengan disiplin yang kaku dan keras sekalipun). Penasaran? Sila baca sampai tuntas resensi buku ini untuk mendapatkan pandangan baru. Semoga menginspirasi!

-------------------------
Disclaimer :
1. Artikel berikut bisa di temukan di bentuk forum parenting lainnya. Artikel ini disebarkan dengan sumber yang disebutkan dengan tujuan berbagi informasi berharga.
2. Artikel berikut bisa jadi belum cocok untuk kondisi masing-masing keluarga namun memahami isi materi dengan baik bisa jadi sangat berguna di kemudian hari.
3. Dipersilahkan menyebarkan artikel dengan menyebutkan sumbernya.
4. Silahkan menyimpan artikel atau bisa mengunjungi blog Kijar ( on progress)
5. Di persilahkan untuk berkomentar dan bertanya atas isi materi untuk di diskusikan bersama-sama dengan bahasa yang hangat dan santun.

---------------------------

SOURCE : http://www.momsbooksclub.blogspot.com/2011/12/tiger-mom.html?m=1
(Dengan sedikit tambahan)

Judul Buku: Battle Hymn of The Tiger Mother
Penulis : Amy Chua

Tidak berlebihan jika Guardian menilai buku ini sebagai buku yang paling kontrovesial. Bagaimana tidak, cara membesarkan anak yang dilakukan Amy Chua terhadap kedua anak perempuannya, Sophia dan Louisa, bertentangan dengan semua teori pengasuhan yang diamini semua pihak selama ini. Bahkan bukan tidak mungkin cara membesarkan anak yang dilakukan Amy Chua pada kedua putrinya bertentangan dengan hak anak. 

Apa yang dilakukan Amy Chua terhadap kedua putrinya? Diantaranya tidak boleh;  
Bocoran peraturan dari Ibu Macan (not allowed to) :
1. Attend a sleepover
2. Have a playdate
3. Be in a school play
4. Complain about not being in a school play
5.  Watch TV or play computer games
6.  Choose their own extracurricular activities
7.  Get any grades less than an A
8. Not be the #1 student in every subject except Gym and drama
9. Play any instrument other than the violin or piano
10. Not play the piano or violin

Intinya, Amy Chua tidak sedikitpun memberikan pilihan kepada kedua putrinya mengenai apa yang mereka sukai atau tidak. Mana yang mereka inginkan atau tidak. Amy Chua mengendalikan bahkan memaksakan semua kegiatan yang dilakukan kedua putrinya setiap hari. Terdengar kejam dan mengerikan? Ehm, sungguh buku yang membuat saya tidak sabar untuk menuntaskannya sampai halaman terakhir.

Sebelum genap usia kedua putrinya lima tahun Amy Chua mengeleskan keduanya kursus piano, namun dengan berjalannya waktu dan berbagai pertimbangan si sulung Sophia lah yang tetap kursus piano sedangkan adiknya Louisa kemudian fokus bermain biola.

Sekedar les musik seperti dilakukan kebanyakan orang tua masa kini? Tidak, Amy Chua bukan hanya menghadiri setiap sesi latihan kedua putrinya tapi berusaha mengerti dan menghayati setiap nada yang dimainkan untuk mencapai kesempurnaan sehingga saat sesi latihan di rumah, dialah yang bertindak sebagai guru. Ia mewajibkan kedua putrinya berlatih musik di rumah selama 90 menit setiap hari, dua kali lipat saat hari les dan lima hingga sepuluh jam saat akan menghadapi undangan konser. Tiap hari tanpa kecuali pun termasuk saat liburan musim panas ke luar negeri. Ya, Amy Chua selalu punya cara yang tidak masuk akal bahkan di nilai gila  oleh kedua putri dan suaminya yang membuat sesi latihan musik tetap berlangsung di belahan negara manapun ketika mereka berlibur.

Buku ini adalah kisah nyata bagaimana Amy Chua membesarkan kedua putrinya sehingga menjadi menjadi pemain musik yang berbakat pada usia sangat dini dan kakak beradik ini kemudian dijuluki sebagai "Genius Sibling" di bidang musik, sebelum mencapai usia 15 tahun.
Cara membesarkan anak yang Amy Chua lakukan sama dengan yang dilakukan ibunya saat ia masih kecil. Cara yang disebutnya sebagai cara membesarkan anak ala ‘ibu china’. Cara yang dinilai sebagian besar orang ‘kejam’. Terlebih Amy Chua dan keluarganya tinggal di Amerika. Negara dimana kebebasan dan hak asasi  dijunjung tinggi.  Namun menurut Amy Chua justru cara seperti itulah yang membuat anak dari ibu-ibu china sukses terutama dalam bidang sciences dan musik.  Selain karena Amy Chua takut kualitas keluarganya merosot. Mengingat sebuah pepatah China yang mengatakan ‘kemakmuran tidak pernah bertahan lebih dari tiga generasi.’ terdengar familiar bukan?

Amy telah di didik dengan sangat disiplin oleh orang tua mereka sehingga ia memiliki prestasi akademi dan karir yang cukup berhasil untuk masuk ke kelas sosial menengah atas di Amerika, namun hal itu tidak membuat anak-anaknya mudah mendapatkan segala sesuatu, barang dan pakaian branded serta luxury travel adalah list terakhir keluarga mereka.
Yang perlu di garis bawahi adalah kesan yang Amy dapatkan, bahwa sekeras apapun cara orangtua mendidik anaknya, saat kemudian anak tersebut meraih sukses, anak tidak pernah mendendam pada orangtua, malah mereka akan bersyukur dan berusaha membalas budi baik orangtua.
(Saya pun sesungguhnya merasa demikian, bagaimana dengan anda? Hanya saja kemudian kita harus menyadari bahwa ada pendekatan yang jauh lebih baik dalam mendidik anak selain dengan kedisiplinan tingkat tinggi)

Cara membesarkan anak yang dilakukan Amy Chua terhadap kedua putrinya bukan tidak mendapat pertentangan. Pertentangan itu salah satunya berasal dari ibu mertuanya. Pertentangan yang membuat hubungan Amy Chua dan mertuanya tidak memiliki sentuhan personal. Namun perlawanan yang cukup keras justru datang dari putri keduanya, Louisa, dimulai saat berumur tiga tahun dan puncaknya saat berumur 13 tahun. Perlawanan yang dilakukan Louisa diluar dugaannya mengingat salah satu aturan ‘ibu china’ dalam membesarkan anaknya adalah anak harus patuh dan hormat pada orang tua, apapun yang terjadi. Diceritakan, Louisa mengalami hari-hari berat penuh tekanan demi menuruti semua peraturan ibunya. Louisa menjelma menjadi anak yang resah, tidak bahagia, mudah marah dan melawan orangtuanya. Sehingga akhirnya Amy dan Louisa mencapai titik puncak perselisihan dan Amy kalah dan menyerah. Louisa akhirnya meninggalkan les Biola dan mengambil les Tenis yang lebih ia sukai.

Buku ini ditulis dengan bahasa mengalir dan ringan. Dengan tuturan yang blak-blakan namun cerdas bahkan kadang jenaka yang membuat pembaca enggan mengambil jeda untuk berhenti. Selain akhir dari kisah keluarga ini membuat penasaran.

Cara yang dilakukan Amy Chua dalam membesarkan dan mendidik anaknya sangat mungkin tidak cocok di terapkan pada keluarga lain tapi dari caranya kita bisa belajar mengenai seberapa besar ketekunan, kerja keras, disiplin dan pengorbanan yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan.

Amy Chua lahir dari keluarga imigran China terpelajar, ayahnya seorang akademisi. Amy Chua menamatkan kuliah hukumnya di Harvard dan menjadi profesor di Yale Law School. Menikah dengan seorang Yahudi Amerika yang juga profesor di Yale Law School.

Dulu pas masa2 remaja ghalauuu suka banget sama kata2 mutiara.. trus seiring perkembangan usia kok malah suka jadi iritasi denger nasihat. Haha.

Well.. beberapa life lesson dibawah pernah jadi prinsip eyke dan membacanya sekali lagi ternyata masih menyenangkan (dan memberi energi baru).

Worth it to be noted.

---

45 Life Lessons Written by a 90-Year-Old Woman45 Life Lessons Written by a "90-Year-Old Woman"

Regina Brett

1. Life isn't fair, but it's still good.

2. When in doubt, just take the next small step.

3. Don't take yourself so seriously. No one else does.

4. Pay off your credit cards every month.

5. You don't have to win every argument. Agree to disagree.

6. Save for retirement, starting with your first paycheck.

7. Make peace with your past so it won't screw up the present.

8. It's OK to let your children see you cry.

9. Don't compare your life to others'. You have no idea what their journey is all about.

10. If a relationship has to be a secret, you shouldn't be in it.

11. Life is too short for long pity parties. Get busy living, or get busy dying.

12. You can get through anything if you stay put in today.

13. A writer writes. If you want to be a writer, write.

14. It's never too late to have a happy childhood. But the second one is up to you and no one else.

15. When it comes to going after what you love in life, don't take no for an answer.

16. Burn the candles; use the nice sheets; wear the fancy lingerie. Don't save it for a special occasion. Today is special.

17. Overprepare, then go with the flow.

18. Be eccentric now. Don't wait for old age to wear purple.

19. The most important sex organ is the brain.

20. No one is in charge of your happiness except you.

21. Frame every so-called disaster with these words: "In five years, will this matter?"

22. What other people think of you is none of your business.

23. However good or bad a situation is, it will change.

24. Your job won't take care of you when you are sick. Your friends will. Stay in touch.

25. Believe in miracles.Whatever doesn't kill you really does make you stronger.

26. Growing old beats the alternative — dying young.

27. Your children get only one childhood. Make it memorable.

28. Get outside every day. Miracles are waiting everywhere.

29. If we all threw our problems in a pile and saw everyone else's, we'd grab ours back.

30. Don't audit life. Show up and make the most of it now.

31. Get rid of anything that isn't useful, beautiful or joyful.All that truly matters in the end is that you loved.

32. Envy is a waste of time. You already have all you need.

33. The best is yet to come.

34. No matter how you feel, get up, dress up, and show up.

35. Take a deep breath. It calms the mind.

36. If you don't ask, you don't get.

37. Yield.

38. Life isn't tied with a bow, but it's still a gift.

Hola!

Alhamdulillah sekarang Eden udah di usia 16mos (1y4m)..
Semakin banyak perkembangannya yang menyenangkan juga beberapa perkembangan emosinya yang mengejutkan hehe.
Kemarin untuk menstimulan motorik kasarnya, Eden dikasih mainan Sensory Bin dan Sensory Bottle. Sejauh ini mainan paling favoritnya adalah Dyed Rice dan juga Crayons -paper.

Nah.. guideline curriculum buat usia Eden sekarang adalah :

What to do in week 1 - Lesson 7

Literature : Sisil The Pencil
AlQuran     : Al-Fatihah
Nursery Rhime :
Speech & Vocabulary :
Indoor Games :
Classical Music :
Children's song :
Foreign languange :
Exercise :

What to do in week 2
Literature :
Alquran :
Poetry :
Sign Languange :
Outdoor Games :
Musical Exploration :
Lullaby :
Puppetry:
Nature Study: 
Art appreciation :

What to do in week 3 - Lesson 8

Literature : Sisil The Pencil
AlQuran     : Al-Fatihah
Nursery Rhime :
Speech & Vocabulary :
Indoor Games :
Classical Music :
Children's song :
Foreign languange :
Exercise :

What to do in week 4
Literature :
Alquran :
Poetry :
Sign Languange :
Outdoor Games :
Musical Exploration :
Lullaby :
Puppetry:
Nature Study: 
Art appreciation :

Hari ini, 6-9-14 Eden jalan2 lhoo ke Bandung.

Sejak malam sebelumnya saya sudah bilang, 'Eden, besok kita ke Bandung. Bandung itu jauuuh. Ada lagunya lho.. kota Bandung'

Lalu saya pun nyanyi berulang2 seperti kaset kusut hehee.

Pagi2 banget Eden udah bangun. Mungkin jam 5.15 , kayanya Eden too excited hari ini mau diajak jalan2. Abis sarapan langsung nunjuk kunci mobil dan bilang 'buka!'

8.35 Baru mulai jalan, Eden bobo. 1jam kemudian bangun dan posisi masih di jalan tol karena macet. Seperti biasa kalo di mobil kelamaan suka ga betah dan narik2 gagang pintu sambil bilang 'buka! Buka!'

Jam 11.30 ahirnya sampe ke Cimahi, ke rumah kawannya paksu untuk silaturahim dgn teman2 satu seksi kantornya. Setelah mulai 'panas' Eden akhirnya mau main bareng dengan Mas Kenzie (2y8m) Aa Jibril(4y) dan Kaka Lala (1y8m)

Eden sejauh ini anak yang nice sama teman2nya. Ada kalanya dia merebut mainan tapi dia bukan tipe anak yang mengganggu teman. Makanya waktu Eden berkali-kali kena 'poles' Kakak Lala saya cuma ngeliatin aja sambil merhatiin responnya. Eden ga nangis karena berkali2 saya bilang 'its okay.. ga apa2' walau saya ngilu juga ngeliatnya dan berusaha menjaga posisi mereka biar ga deketan.

Akhirnya saat Eden merasa terganggu, dia cuma mengernyit tajam ke arah kak Lala seolah2 bilang 'uhh! Leave me alone kenapa sik!' Hehehee.

Saya ga tau apakah usia Eden ini sudah mulai 'ringan tangan' tapi so far saya ga pernah mencontohkan hal2 ke arah sana dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak membiarkan Eden menganggap bahwa memukul itu bisa di tiru dan sah2 saja, jika nanti (mudah2an jangan) pada akhirnya dia mencontek perilaku teman2nya.

Jam 2.50 akhirnya Eden bobo setelah saya timang2 sambil disusuin. Lumayan juga tidurnya 40". Wajah bangunnya langsung happy saat Aa Jibril masuk ke kamar dan kasih liat mainan pesawat, ga lama kemudian ayahnya ngasih tau kalo kami akan siap2 pulang.

Saya fikir eden nangis karena play time sm aa jibrilnya keganggu. Pas sampai parkiran saya kok nyium aroma ga sedap. Pas di cek ya ampun.. Eden pup (ups). Akhirnya balik lagi pinjem toilet. Setelahnya dijalan pulang Eden keliatan 'legaaaaa'. Ga mules ya neng :D

Dijalan tol pas banget ada matahari terbenam.. Eden suka banget liatnya.  Berkali2 nunjuk dan minta nyanyi lagu when we wave the sun bye2 dan layang2 (ada layang2 sore itu). Dijalan berkali2 minta buka pintu mobil.

Saya lagi2 jelaskan bahwa Bandung- Cikarang itu jauuuuh.

'Kita akan duduk di mobil ini 2jam lebih Den. Sabar dan tunggu ya'

Setiap kali Eden gelisah saya selalu bilang 'are we home yeeet?'
' noot yeeet' jawab saya sendiri

Mengenalkan konsep jarak dan peta ke Eden itu penting. Mungkin eden ga ngerti, tapi saya ga mau menyepelekan kekuatan otaknya'

Sampe rumah dia capek banget, makan, mandi lalu bobo nyenyaaak. Zzzzzzzzzzz.

Ibu jg mau nyusul ya Den.. ngantuk berat!

Today we have a fun daaayyy.

Kasian deh tadi siang S jatuh waktu main dirumah nenek. Karena rumah nenek terasnya ada tanjakan ke jalanan di halaman, shaden kepleset dan jatuh celentang. Nangis kejer banget.

Saya ga berhenti istighfar takut membayangkan yg aneh2. Dalam hati saya berujar, 'coba kalau mainnya dirumah aja' trus jd nyesel deh ngajak S main keluar.

Sebagai full time mother, tantangannya harus kuaat menemani dan mengawasi waktu idle anak sebelum jam2 intinya (makan, mandi, nyusu dll.) Setiap hari selaluu ngeliatin jam. Baru bangun aja udah ngitung 'jam berapa S bobo lagi (morning nap dan day nap nya). Atau mikir 'main kemana ya biar S anteng sekaligus killing time).

Biasanya emang main ke rumah nenek setiap abis morning nap. Tapi kasian banget Shaden karena pulangnya pas tengah hari, kepanasan (walaupun pake payung tetep khan suhu nya menyengat) saya juga capek banget mesti gendong S yg sekarang 10kg (1y2m).  Beberapa minggu lalu saya malah nge-drop bgt, kaki ngiluuu pegel2 bahkan sampe gemeter dibawa jalan. Akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan, saya harus bisa menciptakan 'waktu' yang Fun dirumah dengan S. Killing time is another story, create a fun time for S is now priority.

Saya terus browsing sana-sini nyari tipe permainan apa yang sesuai dengan usia S, yang juga bisa menstimulan tumbuh kembangnya. Masalahnya signal hape nih ga bisa diandalkan. Buka google aja bisa seharian! Wasaaalaaaam.

Sebenarnya kemarin sudah mulai main2 sensory bin, sampe sekarang S sukaa banget mainin beras dan memindahkannya ke wadah yang lain. Tapi, ide stuck (blame it on internet! Grrrrr!!)  Trus kejadian tadi siang bikin pelajaran berharga untuk ganti hape aja (jeileeeh dikira gampang! Hahaa) ga deng, pelajarannya adalah.. supaya saya lebih semangat nyari2 artikel buat S dan bisa enjoy every moment with her. With more high commitment.

I challenge myself lagi untuk bisa kasih S play time yang seru2 walau cuma di rumah dengan peralatan yang sederhana. We can do it, ya lil girl...

Awalnya saya juga agak2 ga sreg waktu om wiwi mencalonkan diri sebagai Presiden. Bukannya benerin Jakarta dulu. Mbatin saya.
Awalnya (bahkan sampai sekarang) saya juga ga ada persepsi apa2 sama om wowo. Biasa aja.

Ketika sebagian teman main saya, lebih memilih ga mau pusing soal copras capres. Saya mulai membuka beberapa link untuk mencari tahu soal kedua capres tersebut. Yah walo hanya bacaan ringan sembari ngelonin anak bobo.

Yang pertama saya liat adalah betapa banyak tuduhan kepada Om wiwi. Tudingan2 yang tajam ini justru diterbitkan oleh web berjudul islami. Voa-islam.com, islampos.com, pkspiyungan.com, dakwatuna dan beberapa portal milik koalisi merah putih.

Saya juga membaca beberapa berita mengenai serangan kepada Prabowo. Soal tunggakan gaji, soal isu HAM, soal 'kaburnya' beliau ke luar negri dll.

Hidup adalah kumpulan dari kepingan puzzle. Ketidaksempurnaan bentuk dari puzzle yg berdiri sendiri itu seringkali diangkat menjadi berita yang bisa di jual untuk membeli simpati publik. Akan tetapi, memakai puzzle SARA adalah kejahatan yang paling jahat di muka bumi ini.

Ya. Akhirnya saya bersimpati kpd om wiwi mulanya karena saya tiba2 enek sama portal berita dan parpol yg mengatasnamakan agama. Betul, saya memang punya sentimen pribadi, pengalaman hidup yang mengajarkan saya.
Hati-hati! barometer kesucian hati tidak selalu dari pakaian rapat berlapis-lapis,
Hati-hati! akan bahaya laten dari hati yang merasa sudah hidup kaffah dijalan Alloh. Inilah biasanya orang2 sombong yang (merasa) beriman.
Hati-hati! Dari menerima nasihat para murabbi dan nasihat islami yang disebarkan lewat media dll.

Saya tidak mengatakan bahwa pengalaman hidup saya adalah biang keladi dari ketidakpercayaan saya pada 'kemasan/bungkus' seseorang. Buat saya semua orang sama saja, hanya Alloh SWT.lah yang punya hak privilege dalam menentukan kadar takwa hambaNya. Buat saya aturannya sama saja, lihat isi perkataannya, bukan siapa yang mengucapkannya. Jika menerima nasihat/berita, jangan langsung di telan tapi di kaji kebenarannya.

Makanya ketika ada ulama ikut2an meramaikan panggung pilpres ini saya langsung cek. Aa Gym dan Arifin Ilham, dua ulama yang sudah lama saya gedeg karena poligami (maaf buat para fansnya). Silahkan kalau mau bilang saya liberal. Tapi saya tidak sok suci dengan menggunakan nama Tuhan dan agama saya, meratap2 di sosmed karena ketakutan negara ini akan jadi negara sekuler komunis dsb. Karena di pimpin Jokowi yang hobinya blusukan atau Genchi Genbutsu kalo kata orang jepang (tau kenapa orang Jepang bisa sukses? Itu kuncinya)

Jujur saya udah sebah ngeliat kawan2 baik saya yang awalnya saya respect berubah jadi beringas hanya karena capres2an ini. Seolah hanya karena Prabowo di dukung para ulama, maka yang mendukung Jokowi adalah murtadun semua. Ini sebenarnya mau pilpres atau perang agama??

Saya juga sadar kok soal capres ini lebih menjadi ajang sentimen pribadi. Yang ribut2 khan sesama kawan, seolah sebelumnya tidak ada ring tinju yang sah buat saling mukul, capresan ini jadi ajang aji mumpung.
Ini pengalaman saya kok. Saya enek banget sm sekelompok orang yang mengaku tau sekali konspirasi dibawah meja karena dia aktif di kegiatan pergerakan islam, baginya jokowi jadi presiden itu innalillahiwannailaihi rajiun. Ga ada tuh satupun yang bilang kalao Jokowi menag tidak luput karena Alloh memberikan izinNya, malah ngeluarin hadist yang menyerang. Duh laskar 2D nasibmu kini...

Okelah. Sekian postingan saya soal capres2an ini. Pokoknya, awass kalo om wiwi bikin kebijakan yang merugikan rakyat! Kawal terus om wiwi!

Buat temen2 para fans garis keras om wowo, berjuanglah terus sampai titik darah penghabisan. Mudah2an kalo besok om wowo menang di MK, dia segera mengangkatmu jadi mentri agama. Hehehe...

Bulan Juni akhirnya jadi bulan-bulan sibuk karena Shaden lahir dibulan itu. Seru dan capek nyiapin segala keperluan syukuran. Alhamdulillah, acaranya berjalan lancar ga ada halangan berarti (well saya bahas ini nanti di post khusus :D )

Justru saya ingin melepaskan kembali fikiran saya di tulisan kali ini. Bagaimana tepat saat Shaden telah terlahir satu tahun lalu. Saya juga terlahir menjadi Ibu yang lebih matang (mungkin juga karena faktor usia yg makin bertambah hehe)

Setelah melalui satu tahun yang hebat dan menyenangkan (juga termasuk kelelahan2 didalamnya) saya telah bertransformasi menjadi princess Xena *gariiingg hihihi.
Saya menjadi lebih pelan-pelan, leb8h tenang, lebih sabar, lebih perduli dan lebih peka. Justru saya merasa masih memiliki begitu banyak kekurangan dan harus mau belajar lebih banyak lagi.

Saya juga berkompromi dengan diri sendiri bahwa saya bukan ibu yang sempurna, ada saat dimana saya merutuk diri saya sendiri akibat kecerobohan yg saya buat. Kadang saya bisa menahan diri untuk marah, kadang tiba2 saya tanpa sadar sudah setengah berteriak pd Shaden.

Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk Shaden. Selamat ulang tahun yang pertama anakku.. terimakasih telah membuatku menjadi ibu...

Me time. Definisi me time buat saya (sebelumnya) adalah.. leyeh-leyeh baca buku terbaru atau nonton dvd korea atau pergi spa.

Sekarang me time buat saya adalah nongkrong di toilet dengan damai tanpa di tungguin anak yang lagi nangis di depan kamar mandi atau mandi tanpa perlu buru-buru (kalau bisa harus keramas dulu- yang di sebut mandi yang sempurna) atau makan dengan perlahan sambil menyimak sesuatu (tv, buku atau handphone)

Hehee.. hidup sebelumnya tidak pernah sesibuk ini!

Bahkan meeting seharian penuh di kantor karena masalah stop produksi atau one day business trip pun, tidak ada artinya dibandingkan kesibukan seorang ibu.

Kurang lebih, begini skenarionya:
Bangun pagi jam 5.30, mata masih sepeet tapi anak sudah ihik ihik minta di angkat keluar kamar. Gantian sholat sama paksu lalu segera buat air hangat untuk ganti dispo si nona kecil. Sholat kelar, buru-buru pakai jilbab rapih karena si kecil mau morning walk dengan sepeda kesayangannya lalu Sambil mengira2 jam berapa sekarang, langsung naik motor sm paksu buat beli sarapan anak bayi ini, kemudian nona kecil sarapan (sambil di beri sejuta kesibukan & mainan agar makan tetap konsen di tempat) kadang-kadang ngelempar bubur ayam di lantai yang menyebabkan emaknya harus segera ngepel (kalo enggak bakal lengket dan ngundang lalat) habis itu si emak lari ke dapur buat masak air hangat. Sambil nunggu air matang si emak makan dengan kecepatan cahaya (lebay hee) *kadang si emak mikir, alangkah baiknya nasi uduk atau lontong sayur dibuat kapsul sekali tenggak, demi efektifitas!

Lalu si emak ngajak sang anak ke halaman buat dititah *modus, padahal emaknya sengaja ngejemur di matahari pagi. Kira2 10 menit selepas sang ayah pergi bekerja, sang emak menyiapkan ember dan air hangat sambil menggendong si nona kecil yang nempel bagai perangko.

Berkejaran dengan waktu, si emak buru2 mandiin anaknya. Itu pun seringkali di lalui dengan drama karena sang anak biasanya ga mau di keramas padahal rambutnya lengket bak sarang burung.
Jam ngantuk pun tiba, si anak yang cranky ga mau pake baju bikin emaknya keringetan dan ngos2an. Tapi si emak terus bersabar, sambil tetap senyum ke kamera *apaa cobaa

Lalu si anak di susui. Kira2 jam 8pagi si anak pun tertidur. (Yaaah.. cerita udah banyak baru nyampe di jam 8 pageee)

Lanjut, si anak tertidur sambil ngempeng. Sang emak bersyukur jikalau pagi itu sudah sempet sarapan, jikapun tidak, si emak(lagi-lagi)  hanya bisa tersenyum sambil mendengarkan bunyi perut krucuk-krucuk yang untungnya tidak selebay iklan lapar di TV.

Si emak biasanya menunggu sang anak di posisi deep sleep lalu meluncurr wussss ke dapur (sambil bolak-balik ngecek kekamar anak), klontang2 bunyi peralatan dapur bikin makan anak yang judul kerennya home made, makan buat emaknya sih santai aja selama warteg masih beroperasi, si emak bisa bernafas lega.

Si emak tersenyum jika mendapati anaknya tidur sampai satu jam dan hanya bisa menarik nafas panjang jikalau hanya tertidur sampai di menit ke-30. Itu tandanya, ngedapur belom kelar, tapi anak harus di temani main. Rumah masih kaya kapal pecah, bekas sarapan masih berantakan, bekas mandiin anak di kamar mandi masih berserakan. Woles aja cin! Demikian suara hati menghibur. Hehe

Biasanya sang anak akan menghabiskan 3jam untuk main dan makan sampai tiba di jam ngantuk selanjutnya. Si emak dengan sigap mengeluarkan box mainannya dan menyetel lagu kanak2 dengan harapan si anak bisa di sambi sambil ngedapur. Biasanya 10 menit pertama, sang anak amat cooperative, dengan asik berjoget2 meniru lagu2 di televisi sambil menciumi boneka2 kesayangannya. Si emak yang mengawasi di dapurpun selalu pasang senyum 3 jari untuk memberi sinyal bahwa 'you are save, mommy is.. here.. looks even mommy singing lalalalala in the kitchen to cheers you up!'

Menit selanjutnya saat si anak bosan duduk, dia akan minta di titah. Sang emakpun setuju meninggalkan urusan dapur yang sekiranya sudah cukup aman, untuk menemani sang anak keliling rumah beberapa putaran. Kadang2 si emak sakit pinggang karena slalu membungkuk, tapi si emak sadar, proses titah ini tidak akan berlangsung selamanya, 1-2 bulan tidaklah lama! *tempel pinggang pake koyo cabe!

Proses makan siang berlangsung penuh negosiasi, kadang sendok di tepis, sang emak pun harus sigap mempersiapkan sogokan berupa kerupuk atau biskuit malkist roma supaya anak mau membuka mulut. Terjadi perebutan kekuasan atas mangkok dan sendok yang biasanya berakhir dengan ceceran makanan di seluruh baju ditambah air minum yang tumpah2 sehingga sang anak butuh proses pembersihan darurat, ganti dispo dan seluruh bajunya.

Jam tidur siangpun dimulai, si emak berdoa khusyuk agar (demi kebaikan si anak) sang anak bisa tidur cukup- sekitar 2-3jam yang artinya, emaknya bisa terpejam barang 30menit, itupun kalau bisa. Karena biasanya si emak sungguh terganggu dengan kenyataan bahwa dirinya belum mandi dan belum makan hihi (sibuk nih yee)

Well, cuma nulis ulang cerita hari2 aja, capek. Tapi tanggung ah.. mari kita lanjut..

Bangun tidur, si anak biasanya makan snack. Si emak bersabar sedikit lagi karena saat si anak sudah kenyang maka aman untuk mengajaknya ke warung nasi terdekat. Biasanya makan dengan kecepatan cahaya di ulang lagi.. lalu nemanin main lagi.. jam 4 waktunya si anak makan sore, si emak mengambil jarik lalu mengajak anak jalan2 (sambil makan) keluar rumah.

Biasanya harapan dateng (emak gueeh) hehe.. habis emak mandiin sang anak, gantian sang nenek yang bertugas ngajak jalan2 sore dan main di tetangga dekat. Nah, saat itulah gue bisa...

Santai.

Dari hongkong. Heee.. saat itulah emak memegang beberes rumah, sapu, ngepel, cuci piring dan mandi (mandi sehari sekali, pantas saja aura makin tipiss piss)  Habis itu ngelonin sang anak tidur malem biasanya sehabis maghrib.
Nah.. hari pun mulai berakhir dengan...

Dengan aktifitas baru yaitu memasak makan malam untuk suami. Heheee

(Kadang kalaauu sudah kecapean banget siangnya, skip masak malem dan beli lauk diluar)

Selesai? Belum. Tanggung jawab sebagai istri dimulai, tanya suami sehat atau ga, butuh di kerokin atau enggak, di temenin ngobrol dan mesra2an juga (jeileeeeeeh maaak)

Saat semua udah mulai senyap dan lampu mulai dipadamkan.. saat itulah si emak ngaso bersandar di tembok kamar sambil memandangi handphone hehehe.. my me time! Biasanya liat2 grup whatsapp, facebook, IG dan kalo lg ga capek biasanya baca ebook atau googling artikel tentang apa aja yang menarik. Tapi ini pun dibatasi, sang emak sadar kalau tidur terlalu larut bisa biki  kurang sehat. Jam 11 malam adalah waktu maksimal sang emak tersambung ke dunia maya, walau account @mulanjameelaqueen lagi seru2nya.. demi kesehatan dan kewarasan, si emak harus menutup cover handphonenya.

Dan besoknya mengulang lagi semuanya..

Anehnya, walau capek kejar2an waktu nonstop urus rumah dan anak. Setiap ditanya lebih prefer kerja atau dirumah. Si emak akan menjawab lebih bahaagiaaaaa dirumaah. Capek tapi bahagia. Bahagia pake banget. Hehehe.

(Ya kalo udah capek terus ga bahagia kan rugi bandar hehe)

Nah, sekian Me time kuuuuu malam ini... 10 menit menuju jam 11 malam. Cinderella.. eh, si emak harus buru2 tidurrrrr.

See youuu tomorrowwwww anakku sayang!

Malam ini saya tidak bisa tidur. Lagi-lagi karena isi kepala yang penuh butuh dilepaskan terlebih dulu.

Satu pemicunya. Kisah teman adik saya yang ketahuan selingkuh di rumahnya sendiri, padahal sudah punya dua anak. Lalu ramai lah status FB berupa cacian buat dia, juga penyesalan2nya.

Saya fikir kisah seperti itu hanya ada di deerah antah berantah atau di televisi saja. Kisah Krisdayanti, contohnya.

Saya dibesarkan oleh seorang perempuan yang walau hatinya di sakiti berkali-kali, dia bersabar. Bukan semata setia, tapi dia menahan diri untuk tidak mencari sumber kepuasan bagi dirinya sendiri. Entah karena bapak saya yang terlalu kejam atau suami teman adik saya ini terlalu membosankan, ada banyak faktor yang bisa membuat perempuan gelap mata. Ah, entah.. manusia itu makhluk paling rumit dan kompleks untuk di fahami.

Love is aint enough, begitu kata lirik lagu. Cinta terhadap pasangan mungkin bisa naik turun, hilang dan lenyap sekalipun.. tapi cinta terhadap anak mestinya adalah sebuah bendungan beton maha kuat yang memagari tindakan2 amoral. Bagaimana anak mampu jadi tali yang paling kencang untuk mengekang segala nafsu-nafsu kemanusiaan yang kita miliki. Yang secara alami ada dalam diri kita.

Tapi kenyataannya, cinta terhadap anakpun tidak lah cukup. Terpujilah pembuat lagu love is aint enough. Dia memberitahu kita bahwa sekedar cinta -tanpa usaha mempertahankan, tak akan pernah jadi cukup.

Malam ini saya semakin salut pada Ibu saya. Memang telah lama saya berguru tentang kesetiaan dan kesabaran padanya, cukup lama..  awalnya sulit bagi saya memahami kenapa ibu saya tidak mudah meninggalkan deritanya.. tapi alih-alih mencari kebahagiaannya sendiri, dia menggulung lengan dan bertempur dengan hatinya yang menderita, untuk berdiri meraih ketiga anaknya.. menafkahi kami, membesarkan kami..

Terimakasih ya Bu... untuk satu lagi pelajaran tentang setia kepada yang benar.

Shaden, jadilah anak yang baik ya 'Nak...

Saya sendiri sebenarnya masih merasa belum jadi orang yang baik. Kebaikan perlu selalu di usahakan dan dijaga. Termasuk ketika Eden dengan segala tingkah polahnya yang kadang menguji sumbu kesabaran saya.

Sebagai SAHM dan menghabiskan waktu full dengan baby benar-benar bisa menjadi ladang uji kesabaran. Pernah ada keponakan suami saya bertanya, 'tante pernah bentak Shaden, ga Tan?' Dan saya menggeleng pelan, antara tidak.. dan sebenarnya  iya..

Saya bukan malaikat, ada saat ketika kebutuhan saya berbenturan dengan kepentingan Shaden, saya benar2 menyerah dengan yang namanya sabar, Biasanya nada suara saya naik sedikit atau saya tinggalkan Shaden di kamar sendirian dengan tangisan dan jeritannya yang melengking -sementara saya keluar menarik nafas panjang untuk menetralkan fikiran saya.

Tapi, saya tetap berusaha untuk tetap menjaga emosi saya pada koridornya. Saya tetap mencoba 'waras' dengan mengingat mantra-mantra, bahwa dia tidak akan selamanya kecil, bahwa dalam proses menuju besar dia membutuhkan saya, dalam proses kematangan mental dia mencari contoh dari sikap yang saya lakukan.

Jika saya ini seorang aktris, maka Shaden adalah kamera yang sedang merekam gerak-gerik saya untuk di simpan di alam bawah sadarnya, yang sewaktu-waktu akan ia gunakan di masa depan. Maka sungguh berat proses bermain peran sebagai orangtua ini, dibutuhkan kesabaran, ketulusan dan sikap tanpa pamrih.

Saya mencoba menerapkan hal-hal kecil yang biasa, contohnya;

1. Saya dan suami tidak berbicara dengan berteriak dirumah. Semoga ini menjadi contoh buat Eden, tidak perlu bersuara keras saat menyampaikan sesuatu ke oranglain.

2. Saya tidak berteriak kepada Eden, bahkan ketika kami tidak sepakat (misal, ibu mau eden main sendiri saat ibu perlu ke kamar mandi). Harapannya ketika dia punya keinginan, dia tidak berteriak kepada saya dengan memaksa.

3. Saya tidak 'mengeluhkan' tingkah Eden kepada Eden langsung.
Saya percaya bayi juga manusia pintar yang punya perasaan. Saat menjalani hari-hari yang berat biasanya saya mati2an mencoba memahami perasaan anak kecil ini ketika rewel luar biasa, alih-alih mengeluhkan tingkahnya saya lebih memilih mengunci mulut dan memperpanjang sumbu kesabaran. Kalau suasana sedang baik, biasanya saya masukan sugesti2 positif.

4. Saya tidak 'mengeluhkan' tingkah Eden kepada orang lain
Sebenarnya untuk alasan paling ringan sekedar berbagi sekalipun, sebaiknya simpan segala polah anak kita dalam ranah pribadi kita sendiri. Karena kita tidak suka di 'labeli' oleh orang lain, apalagi jika orangtua kita yang 'membocorkan' polah kita sendiri.

Mencegah agar anak tidak terlalu suka di puji, membangun kepercayaan anak penuh kepada orangtua, tidak membiarkan oranglain merasa lebih tau tentang anak kita lalu melabeli mereka dan menghindari pencitraan buruk terhadap anak adalah sebagian alasan yang cukup untuk membuat kita berhenti membicarakan anak kita sendiri kepada dunia luar.

Terlebih kelak saya ingin Eden bicara langsung dan menjaga perasaan saya untuk tidak mengeluhkan sikap ibunya ke dunia luar.
--

Sebenarnya Eden sudah cukup baik kalau kondisi badannya fit.

Dunia parenting adalah dunia baru bagi saya. Walaupun jauh sebelumnya saya sudah mencoba mengintip kisi-kisi soal parenting tetapi Semakin dalam saya mencari, semakin banyak pula cabang dan ranting ilmu pengetahuan yang satu ini.

Baru bulan depan anak saya akan meniup lilin tahun pertamanya. Tapi perkara mencari sekolah yang tepat sudah saya tekankan (paksakan, lebih tepatnya) pada suami, agar mepersiapkan biaya sekolah di (sebut saja, sekolah A) Sekolah A ini adalah sekolah berbasis agama yang ke masyhuran-nya sudah melegenda, kece berat kalo anak saya bisa sekolah disana! (Padahal saya belum tahu sama sekali kurikulumnya). Lagi-lagi sisi prestige yang bicara.

Kemudian seperti tadi saya bilang, semakin saya mendalami ilmu parenting semakin terbuka lah fikiran saya bahwa sekolah yang baik, tidak harus berbayar mahal (ditambah kasus JIS yang membuat bulu kuduk berdiri!) Perkara mencari sekolah agar mendapatkan pendidikan yang layak ini terus menerus menghentak fikiran saya *jeileh*.
Sampai suatu hari, teman di birthclub mengirimkan saya sebuah ebook berjudul 'Saatnya melatih anakku berfikir' karya Toge Aprilianto.

Awalnya saya beranggapan bahwa, proses berfikir dan menambah ilmu pengetahuan adalah tugas sekolah. Karenanya saya bersikukuh mencari sekolah yang terbaik buat anak saya kelak. Buku ini lah yang kemudian memutar-balikan segalanya. Bahwa proses berfikir dan menambah ilmu bisa di latih oleh orangtua bahkan sejak si anak lahir. Pantaslah seorang penyair Arab berkata 'Al Ummu Madrosatul Ula - Ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya'.

Point-point singkat yang saya rangkum dari buku tersebut, diantaranya:

-  Parenting adalah proses mendidik dan mengasuh anak sejak dilahirkan hingga mencapai kedewasaan mental.

Ah, satu ilmu penting yang saya dapat.
Sejak kapan kedewasaan mental harus di didik? 17 tahun menghabiskan waktu di bangku sekolah maupun dirumah, saya tidak pernah di ajarkan soal menata mental. Biasanya tata krama dan sopan santun hanya menjadi 'aturan tak tertulis' yang makin hari, semakin tidak penting untuk di ikuti.

Kedewasaan mental menurut Toge dapat di ukur dari; Kesanggupan mengelola dirinya sendiri, kesanggupan mempelajari hal baru dan kesanggupan terlibat dalam kehidupan sosial.

- Syarat pelaku parenting salah satunya adalah sudah menyelesaikan masa kanak-kanak agar kita tidak terjebak dalam strategi kekanakan ketika berhadapan dengan anak ( kata-kata ini saya renungi dalam-dalam)

-  Tugas utama Parenting adalah fokus pada faktor Fisik (mengajarkan anak kebersihan, kesehatan & Keselamatan), Faktor Kognisi ( kesiapan berfikir sebagai pengendali seluruh perilaku anak kelak), Faktor emosi (kesiapan anak menghadapi situasi emosional dalam hidup yang biasanya melibatkan lingkungan sosialnya)

Ada 9 keterampilan hidup yang dijabarkan oleh Toge sebagai turunan dari tugas utama pengajaran parenting diatas, yaitu ; Memahami dan menghargai diri,
merawat diri, menyelamatkan diri, menghadapi perubahan, menjalin relasi sosial, belajar, memanfaatkan pengetahuan, menghadapi masalah dan menyelesaikannya, lalu yang terakhir, berkarya.

(Pause sejenak, lalu renungkan...  Ternyata banyak banget yang harus diajarkan kepada anak-anak kita yaa...)

Selanjutnya, agar kita tak kehilangan arah dalam proses parenting. Toge memberikan track atau Rute pola asuh-didik, yang sangat bagus untuk di ikuti sesuai usia anak kita :

0-2y (Membangun rutinitas)
Rutinitas ini penting agar anak disiplin.
Sebagai contoh random : Anak saya, M (11mos) sudah punya kebiasaan jam berapa tidur, makan, main dan mandi. Pada saat ada satu hal yang terlewat, secara refleks tubuhnya mengirimkan sinyal protes (biasanya dengan tangisan hehe)

1-3y (Membangun keterampilan memilih)
Ada tiga hal pilihan disini yang bisa dilatih pada anak secara bertahap :
Enak vs tidak enak (ex. masih mau main atau pulang sekarang?)
Enak vs enak ( ice cream atau coklat?)
Tidak enak vs tidak enak (mau mandi sendiri atau mama yang mandikan?)

Biarkan anak memilih salah satu dari pilihan yang disediakan, agar ia belajar menganalisa dan menerima konsekuensi pilihannya tersebut. Bersabarlah untuk menunggu jawaban anak (bukan dengan tergesa-gesa menentukan yang terbaik untuk anak, hanya karena dia masih kecil, bukan berarti dia tidak sanggup berfikir)

2-4y (Membangun keterampilan menawar - Posisi anak sebagai pembeli)
Kenyataan bahwa apa yang kita inginkan selalu ada harganya dapat menjadi esensi pelatihan dasar bagi anak
Contohnya dengan kalimat : "terserah kamu. Kalau mau mendapatkan itu, lakukan ini. Kalau tidak mau ya kamu tidak dapat apa yang kamu inginkan"

3-5y (Membangun keterampilan menawar - anak sebagai penjual)
Misal jika anak ingin jatah menonton TVnya lebih lama di hari weekend. Maka ia bersedia untuk makan dan mandi dengan teratur tanpa di suruh terlebih dulu.

Tapi ingat.. anak-anak itu cerdas, jangan sampai perbuatan baiknya (yang sudah ia lakukan) di kompensasikan dengan keinginannya. Karenanya, proses penawaran ini hanya berlaku setelah kedua pihak saling menyepakati.

4-6y ( membangun keterampilan berdagang, win-win transaction)
Anak harus dihadapi kenyataan bahwa keinginannya kerap akan berbenturan dengan kepentingan orang lain. Karenanya perlu dilakukan kesepakatan yang tidak akan merugikan orang lain, anak dilatih agar mau berkompromi dengan keadaan yang garis besarnya, jika ia ingin mendapatkan apa yang dia mau, dia harus mau bersabar mendahulukan proses orang lain (misal, mama harus ke supermarket dulu, baru bisa beli mainan) atau melakukan usaha atau pengorbanan ( setiap mencuci satu piring artinya 1000 rupiah akan diberi untuk menabung beli sepeda yang dia inginkan, dll.)

5-7y (membangun keterampilan untuk memperjuangkan keinginannya)
Pada tahap ini biasanya anak akan mulai mahir berdagang. Dimana ia mengerti semua yang ia inginkan selalu mungkin di dapatkan bila dia mampu memenuhi syarat yang menyertainya.  

6-8y (membangun keterampilan menghadapi resiko/akibat)
Membiasakan meminta 'penjelasan' atas perbuatannya akan mebuatnya mengerti tentang konsep sebab akibat. Tujuannya agar anak mengerti dan terbiasa mengapa ia melakukan hal itu dan untuk apa ia melakukannya. Hal ini akan membentuk sikap rasional pada diri anak agar tidak semata mengikuti emosinya saja. kebiasaan bersikap rasional adalah dasar pembentukan sikap bertanggung jawab.

7-9y (membangun keterampilan menghadapi resiko dan mencari solusi)
Setelah anak-anak terbiasa dipapar oleh akibat, anak akan bersikap lebih hati-hati. Bisa dengan bertanya apa yang akan dihadapinya jika dia begini atau begitu. Hal yang penting adalah anak jangan sampai takut menghadapi resiko atau menyerahkan dirinya pada nasib. Faktor emosi menghadapi resiko harus di kelola oleh anak agar ia siap menghadapi resiko dari pilihannya.

8-10y (membangun keterampilan membangun solusi)
Jika di rute sebelumnya, anak bisa bertanya pada kita mengenai resiko yang mungkin timbul. Di usia ini anak sudah bisa di ajak diskusi untuk bersama-sama mengamati dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan dari pilihan dan resikonya. Gunakan kata kunci 'menurutmu, bagaimana?'

9-11y (membangun keterampilan memeriksa solusi)
Tahapan ini adalah tahapan transisi dimana orangtua yang menggunakan pola asuh-didik menjadi pola pendamping dan konsultan. Diharapkan di usia ini (kira2 lulus SD) anak sudah mahir mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan resiko.

10-12y (membangun keterampilan mengatur strategi)
Pada usia ini anak akhirnya akan menyadari bahwa semua arah hidupnya akan bergantung dari pilihan yang ia ambil beserta resiko yang mengikutinya. Istilahnya, anak akan menyadari bahwa dia mampu meletakan kebahagiaan di atas tangannya sendiri (dari pilihan2 yang ia ambil) bukan mengharap dari orang lain agar memberi atau mengerti perasaannya atau menuruti semua keinginannya bak Raja atau Ratu.

11-13y ( pola asuh didik sudah selesai, berganti pendampingan)
Diusia ini anak diupayakan telah mampu menjadi pribadi yang mandiri. Biasanya diusia ini anak mulai membuat keputusan2nya sendiri, mulai menguji jati dirinya, orangtua yang telah membekali keterampilan hidup diatas, cukup berperan sebagai konsultan yang siap memberi masukan bila diperlukan.

Adapun orangtua yang belum mempersiapkan anaknya secara mandiri di tahap ini akan sedikit kesulitan karena anak kehilangan jati diri sehingga proses pencarian jati dirinya akan melibatkan banyak orang, bagian buruknya, jika proses mencari jati diri ini bisa merusak masa depan si anak dan orang lain di sekitarnya ( sex bebas, narkoba atau sebab yg ditimbulkan dari orangtua yang terlalu overprotective).

Nah, berat ternyata tugas parenting itu yak?

Berat karena sebagai orangtua kita ingin memberikan segala yang terbaik untuk mereka. Bahkan segala usaha dan penderitaan jika boleh biarlah diri ini yang menanggungnya. Tapi efek yang ditimbulkan dari cinta buta terhadap anak ternyata jauh lebih menyakitkan dari sekedar kesedihan yang di derita anak ketika ia menerima resiko atas perbuatannya yang tidak baik.

Rangkuman diatas tentu hanya saya ambil secara garis besar saja. Untuk lebih lengkap dan dalam, bisa langsung membaca buku tersebut. Saya merekomendasi buku ini u tuk dibaca setiap orangtua.

Semoga apa yang saya tulis bermanfaat dan sesuai dengan arah tujuan dari buku yang di tulis Pak Toge.

Jadi, sekali lagi betul ya... Al Ummu madrosatul ulla... idzaa a'adtaha a'dadta sya'ban khoiril 'irq..
Seorang ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya. Jika ia dipersiapkan dengan baik sama dengan mempersiapkan bangsa yang berakar kebaikan.

-CF-

Selamat sebelas bulan anak ayahibu....

Bulan depan udah mau ulangtahuun aja ya Eden.. makin besar ajaa..
Dulu ibu gendong masih cukup di peluk didada pake satu tangan. Sekarang udah tambaah panjaaang.. kalo di gendong mesti dua tangan dan kakinya udah uncang2 kemana2... 

Sebelas bulan ini perkembangan Eden pesaat banget baik dari segi motorik halus dan kasarnya. Eden udah bisa di ajak komunikasi, ekspresinya makin beragam, artikulasi dan intonasi suaranya makin banyak.. dan Eden udah bisa duduk sendiri dari tiduran, bisa berdiri sambil joget2. Udah bisa tiruin lagu2 anak2.. udah aware sama lingkungan sekitar. Kalo ada yang buka pintu gerbang langsung ngeliat ke ibu dan nanya 'apa' jadi ibu mesti jawab ohh itu nenek/engkong/uwa datang.. biasanya eden lansung tepuk tangan kegirangan..

Eden masih belum merangkak. Baru pasang kuda2 tapi kemudian ragu2.. gpp ya sayang.. lbu percaya eden pasti bisa.. when you ready, you are ready. I believe in you.

Kalo masalah makan Eden masih average. Mungkin karena di biasakan jadi otomatis teratur. Bobo siang masih 2x dan makan karbo 3x lalu snack buah 2x.

Ibu sadar Eden ga akan selamanya kecil dan segera Eden akan mandiri.. bulan depan eden will returning ONE!

MashaAlloh bahagianya Ibu dipercaya menjadi Ibu untuk Eden. Semoga Eden pun bahagia di percaya oleh Alloh menjadi anak Ayah Ibu ya..

You will always be loved.