Ibuku surgaku
.Pagi ini saya membaca sebuah artikel lelaki "Luqmanul Hakim" karya Ust. Adriano..
Ada kalimat tertulis,
"Tinggallah para orang rumah yang tertindih dan tak dapat mengadu kepada siapa pun kecuali Allah. Tragis, karena mereka justru dituduh oleh orang yang Allah ciptakan sebagai teman mengadu. Dan adalah masuk akal jika tragedi yang lahir dari paradoks pada akhirnya akan berbuah keputusasaan. Dan keputusasaan yang tragis akan melahirkan tragedi-tragedi berkelanjutan. Keputusasaan yang hampa itulah yang akhirnya menakdirkan istri-istri yang bunuh diri, ibu-ibu yang membakar anaknya, atau perempuan-perempuan yang berjualan narkoba."
Saya adalah contoh seorang anak dari hilangnya ayah 'Luqmanul Hakim' dari seorang Ibu yang hidup tragis dan penuh tragedi, menikah tanpa restu orangtua tapi kemudian di khianati hatinya, kemudian di telantarkan nafkahnya dengan tiga orang anak perempuan kecil-kecil yang masih butuh makan dan biaya sekolah.
Setelah akal ini sanggup mengorek memorinya, Ibu di masa itu bukanlah ibu yang menyenangkan,tidak seperti iklan di majalah atau televisi, bukan ibu bijak seperti di internet bahkan saya tak pernah tahu bahwa ibu penuh kasih dengan pelukan hangatnya itu ada dan nyata!
Ibu adalah musuh utama saya. Segala yang keluar dari mulutnya adalah segala bentuk pelemahan diri, penyiksaan dan tekanan. Saya (yang mendapat porsi lebih besar, karena anak pertama dan suka membangkang) menjadi kolam bagi penyaluran keran emosi ibu. Segala jenis kata negatif, kata kebun binatang, lemparan barang, pecahan piring sampai lolongan bernada frustasi pernah Ibu lakukan kepada saya dan adik-adik. Yang tidak di lakukan ibu kepada kami anak-anaknya, hanyalah membunuh, membakar atau menenggelamkan anak di kamar mandi. Walaupun jujur, saya sudah pernah menenggak secangkir obat nyamuk cair, karena waktu itu saya yang baru berusia 12 tahun tidak melihat bahwa hidup bisa lebih baik selain mati, untuk tidak merasakan sakit lagi.
Di sekolah, saya tidak pernah punya banyak teman, saya sibuk berkegiatan mengikuti lomba kesenian, mewakili sekolah dari waktu ke waktu. Uji diri dalam perlombaan itulah seperti ring emosi yang bisa menyalurkan emosi saya. Jika menang dan menuai banyak pujian maka gelas hati saya seketika terisi penuh, hal itu juga menjadi candu karena saya selalu kehausan akan pujian. Dua kutub yang berbeda yang saya rasakan menjadikan saya seperti anak yang kebingungan, saya bisa berprestasi dengan baik di satu sisi, tapi juga pernah membuat banyak orang kecewa dan merasa rugi telah percaya pada saya. Karena sejatinya, saya tidak percaya siapapun. Karena di rumah tidak ada rasa aman, apalagi kepercayaan.
Ada banyak tahun-tahun penuh hujatan dan teriakan, buat ibu saya anak bengal padahal saya juga butuh bimbingan dalam melalui masa akil baligh saya, ada juga tahun-tahun tanpa sepatah katapun karena ibu benci pada saya dan saya pun sama bencinya dengan dia. Kami terjebak dalam benang kusut emosi, dia sudah menjadikan saya samsak emosinya selama bertahun-tahun dan yang saya ingin lakukan hanyalah meninggalkannya dan pergi sejauh-jauhnya jika kelak saya sudah mandiri secara finansial. Untuk hari itu lah, saya bertahan hidup.
Tapi kenyataannya tidak semudah itu.
Saat saya berubah menjadi mbak-mbak kantoran, duduk di meja meeting dengan supplier atau melakukan perjalanan dinas keluar kota. Fikiran saya melayang pada sosok Ibu dirumah kami yang tua dan lapuk. Mungkin sedang duduk, mungkin sedang berbaring dengan dasternya yang usang, yang penderitaannya masih sama seperti puluhan tahun silam, masih di khianati dan di telantarkan nafkahnya, bertahan tanpa menikah lagi meski babak belur membiayai ketiga anaknya, masih dengan lidah setajam silet, masih dengan fikiran yang penuh kekecewaan sehingga yg keluar dari mulutnya selalu yang negatif lagi dan lagi.
Bisa jadi saya merasa inilah waktunya pembalasan dendam yang sempurna. Dengan gaji yang saya punya saya bisa mengontrak di rumah lain, jauh dari duri yang selalu menyakiti hati dan fikiran saya. Walaupun ibu sudah tidak lagi memukul tapk kata2nya masih saja menyebalkan. Sampai saya bersumpah-sumpah tidak mau jadi perempuan sepertinya. Tidak akan menjadi ibu sepertinya. Bahkan kalau bisa saya akan ke psikolog untuk menghapus memory saya tentangnya.
Tapi, lagi-lagi kenyataannya tidak semudah itu.
Melalui banyaknya kesempatan yang datang dalam hidup itu pelan-pelan Alloh mengirimkan pesan bahwa jika bukan dari rahim Ibu, di rahim perempuan mana lagi saya lebih cocok di titipkan?
Pertama, adalah penerimaan terhadap qodar Alloh SWT. Bahwa perempuan yang saya panggil Ibu itu adalah ketetapan dari Alloh, terimalah. Itu ucapan saya pada diri sendiri.
Lalu perlahan saya menerima, dengan ikhlas dan kesadaran bahwa beliau tanpa mendidik saya telah banyak mengajari saya ilmu kehidupan. Perjuanga
0 comments