Grupinar : Sekolah untuk toddler
Komunitas Ibu Belajar
Group Seminar
Rabu, 28 Januari 2015
Narasumber : Tutah
Bahasan : Sekolah untuk Toddler
Memang ada ''pro dn kontra'' tentanh menyekolahkan anak di bawah 3 thn. Saya masuk aliran yg mana? Sama-sama kita tinjau dulu definisi sekolah. Kalau versi umum atau konvensionalnya sekolah adalah tempat belajar, yg itu di-identik-an dgn CaLisTung, saya yakin kita semua di grup ini yg punya wawasan dan awereness tentang parenting akan say big NO mengirim anak 2 - 3 thn utk menekuni CaLisTung. Saya pribadi memandang bahww mengirim anak ke sekolah formal pada usia dini sebagau sesuatu yang tidak tabu, asalkan ada catatan2 yang harusbdiperhatikan.
Sebelum saya tulis apa saja catatan2 itu, saya cerita dulu alasan saya berani menyekolahkan anak ke 3 saya ini. Begini, anak saya yang kedua suka ikut saya antar kakak sulungnya sekolah, dia langsung jatuh cinta pada sekolah kakaknya (ini syndrom yg umum menimpa anak ke 2). Saya sempatt khawatir kalau dia masuk Play Group (PG) usia 3 thn, dia akan mengalami kebosanan lebih cepat pada sekolah (umumnya terjadi dipertengahan SD), atau anggapan umumnya "keburu bosen sekolah SD karena kelamaan di pre SD nya.
Saya sekolahkan dia tanpa berharap dia 'naik kelas' atau ada progres yang signifikan, emphasise saya pada kemampuan sosialisasi dia saja. Tapi setahun di PG, ternyata dia di rekomendasi masuk TK di tempat yang sama dengan acuan pada kecerdasan emosional dia. Anak keduansaya sekarang kelas 2 SD saat umurnya 7 thn 29 Nopember lalu, dan prestasi akademis dan progress non akademisnya tidak ada masalah. Bosan? Sampai sekarang dia masih kesulitan pulang tepat waktu, alias berlama2 di sekolahnya.
Dari pengalaman itu, maka saya tidak lagi cemas mengirim anak ke 3 saya untuk sekolah, ketika saya melihat kemampuan verbal dia cukup baik diumur 2 thn. Ada beberapa catatan yang saya garis bawahi dalam mengirim 'bayi' lucu kita ke sekolah :
1. Sekolah seperti apa yang akan bisa membuat anak kita itu nyaman tumbuh sesuai dengan fitrahnya sebagau anak2 dan tahapan pertumbuhannya?
2. Orang2 yang bagaimana yang akan 'mengasuh' anak2 kita diusia bermainnya, yang menjadikan anak2 kita tumbuh optimal tanpa ada perlakuan2 yang membuat mereka tidak nyaman? 3. Rencana pembelajaran, kegiatan2 apa yang akan diberikan dan pencapaian apa yang ingin mereka raih bersama anak2 kita?
Jadi buat saya kuncinya adalah di sekolahnya. Maka penting buat orangtua ketika memilih sekolah memperhatikan sekali kwalitas sekolah tersebut, jangan terpaku pada fasilitas fisik atau harganya yang mahal. Ketika survey cari sekolah, lihat luar dalamnya. Dalamnya berarti kita menggali informasi dari pihak sekolah tepat 3 poin diatas tadi Luarnya adalah kita perlu mengetahui juga experiences wali murid yang pernah menyekolahkan anak disitu (walau subyektif puas dan tidaknya mereka, tapi bisa jadi referensi juga treatments apa yang pernah anak2 mereka terima).
Saya mungkin termasuk wali murid yg beruntung karena 'berjodoh' dengan sekolah anak saya. Sampai si sulung kls 4 tidak pernah alami jenuh sekolah, beda dengan sepupu2 dari garis ayahnya yang tepat seperti psikolog bilang mengalami titik jemu sekolah diusia 1O tahun atau kelas 4, karena digenjot Calistung sejak TK bahkan PG. Bahkan psikolog di sekolah anak saya mendapati bahwa pasien2 yang datang pada para psikolog bukan lagi orang2 dewasa, tapi anak2 SD. Mengerikan.
Sungguh besar kontribusi sekolah membuat anak2 stres.
Ini selingan cerita saja. Di Depok ada sekolah yang penyeleksiannya bukan cuma oleh pihak sekolah atau guru tapi juga murid2nya. Jadi calon siswa dimasukan di kelas dan diamati apakah dia suka membully, kalau dia dan teman2nya menilai seperti itu juga, calon siswa itu tidak akan diluluskan. Artinyam sekolah yang sehat tidak akan membebani anak2 kita apalagi yang masih 'bayi' dengan calistung, bully atau muatan2 yang belum saatnya.
Memang ada juga PG atau Toddler yang jauh dari hal2 diatas, tp tetap perlu diperhatikan kwalitas guru (usahakan sekolah yg terus2an mendidik gurunya, bukan cuma muridnya. Kalau kita orang HRD cari tahu cara recruitment dan kwalifiksi gurunya juga), dan kurikulum pendidikan di sekolah itu termasuk amati teknik guru mengajar di kelas.
Pertanyaan 1 dari Bunda Citra :
1. Tutah, gimana seandainya ga ada sekolah yang bisa mengakomodir kebutuhan anak2 kita? (Tanpa penekanan akademis)
2. Lalu bagaimana pendapat Tutah soal homeschooling Usia Dini (HSPAUD)
3. Apa dan bagaimana efeknya bagi anak.. Apakah Tutah punya pandangan dan pengalaman khusus dari anak2 HSers? (Pernah baca temen tutah ada yang anaknya HS)
Jawab :
Bunda Citra, mengirimkan anak kita ke sekolah yang tidak sesuai dengan visi misi kita itu bukan hanya 'mencederai' pertumbuhan anak2 kita, tapi membuat kita malah galau karena titip anak di tempat yang tidak sejalan dengan kita. Saya prefer anak tsb dipending ke sekolah, dgn dipersiapkan di rumah sambil membekali dia dengan kecakapan yg sesuai dengan pilihan kita (buat kurikulum sendiri).
HSPAUD saya belum bersentuhan langsung, tapi saya dan banyak orgtua yang mengasuk anak2 dgn panduan tumbuh kembang yang 'standar' sambil dikembangkan keunikan potensinya.
Anak2 HS yang saya kenal (usia SD dan PG) keberhasilannya cukup dipeagaruhi 2 hal : lingkungan rumah yqng kondusif mengakomodasi anak untuk berteman dan bermain. Dan kesiapan orangtua untuk menciptakan ruang dan waktu belajar yang memadai (termasuk visit tempat2 yang tepat untuk anak belajar)
Pertanyaan 2 dari BundabRosa :
Tutah mau tanya, saya masih bingung dengan SD. sekolah yang tutah pilih islami atau ga? Deket tempat saya ada 2 yg menarik perhatian yang satu islami tapi muatan pelajarannya banyak sekali dan yang satu lagi lebih melihat ke bakat anak (personally) gitu tapi umum aja. prestasi sekolah pertama sudah dikenal lama dari sisi akademis sedangkan sekolah kedua termasuk baru. apakah akreditasi sekolah menentukan? Apakah kita wajib observasi?
Sekolah yabg kedua ada sesi wawancara dengan ortu dan observasi sekolahnya terus tes ortu gitu.ngimana kita tahu ciri2 sekolah yang mengedepankan anak?
Jawab : Sekolah anak saya Kebon Maen di Depokntidak bisa di bilang SDIT karena tidak ada pelajaran khusus bidang Study Agama Islam, tapi di sekolah itu agama dijadikan bagian dari kegiatan. Datang ke sekolah anak disambut dengan salam dan keriangan oleh guru di pintu masuk, lalu ke saung jurnal untuk mengungkapkan apa saja perasaan mereka (biasanya sisa perasaan dari rumah yg heboh di pagi hari dengan hiruk pikuk emak2 yang bikin anak ikutan spaneng kayak ibunya, diselesaikan dulu), lanjut dengan mengaji dan sholat dhuha, baru berkegiatan belajar sambil main. Kapan belajar agama? Dimasukkan dalam interaksi harian dan materi. Bukankah saat belajar IPA anak bisa dikenalkan padankemampuan Tuhan menciptakan semesta?
Bunda Ocha, akreditasi itu barometer dari Dinas pendidikan, saya tidak mempertimbangkan itu (sekolah anak saya belum ada akreditasi, sampai sekarang masih sekolah payung karena izinnya masij sulit menembus Dinas Pendidikan walau kurikulum sekolah anak saya dijadikan acuan DikNas, mirip2 kurikulum 2O13 yang penekanannya pada menciptakan iklim belajar yang dialogis, humanis, dan kritis. Observasi? Wajib hukumnya,
Memang seharusnya ada sesi interview antara sekolah dengan orang tua untuk menemukan adanya benang mereah antara visi misi sekolah dengan orang tua, Sekolah yang mengedepankan anak kita bisa ketahui dari rencana pengajaran guru di kelas apakah ramah anak, juga visi misi sekolah yang bukann mengejar prestasi akademis dan tidak membanggakan diri tentang prestasi akademis saat mereka berusaha memikat kita yang datang untuk observasi atau saat interview.
Pertanyaan 3 dari Bunda Citra :
Oh iya ada pertanyaan lagi dari diskusi lalu, mengenai apakah Tutah menggunakan bahasa "aku - kamu" ke anak. Karena ada sedikit gambaran kemarin. Lalu sempat ada artikel RIE parenting yang mengatakan bahwa penggunaan bahasa mama-papa sebagai bahasa bayi kurang begitu tepat karena anak dalam usia penggunaaan bahasa aku-nya. Gimana pendapat Tutah?
Jawab :
to bunda citra, soal Aku dan Kamu
Sejak anak pertama saya menggunakan Aku dan Kamu ke anak2 (mereka selalu address pake Aku dan Mommy). Alasan saya memilih penggunaan aku dan kamu karena saya memang bermaksud dari awal jadi teman bahkan sahabat buat anak2.
Saya tumbuh sebagai anak dengan kurangnya pemenuhan kebutuhan untuk menjadikan orangtua sebagai teman, garis tegasnya sudah ditarik "kamu anak, kami orangtua"
saya kuliah di jogja dan mengamati betapa enaknya anak2 disana berdiskusi dengan orangtua, seperti ada kesejajaran ketika ber ''Aku Aku'' ria dengan orang dewasa (bukan saya yang terkesan setingkat lebih santun/sungkan, atau Nama yg kadang diartikan kemanjaan). Jadi saya memilih "Aku" dan "Kamu" untuk membangun iklim persahabatan di rumah dengan anak2.
Anak saya yang ketiga, umurnya 2 tahun mulai ber ''Aku'' sedikit2. Sementara kakak2nya tetap Aku dalam segala kondisi. Saya sendiri kadang address diri saya "Mommy" di beberapa kesempatan seperti surat (saya suka memberi anak saya surat, kartu, puisi buatan sendiri) terutama di moment2 saya sedang menunjukkan I'm your mother, misalnya saat mereka sakit dan butuh perlakuan lembut, saat mereka sedih dan butuh penghiburan, saat mereka berprestasi dan saya mengapresiasi sebagai ibu yang bangga, saat saya marah dan menegaskan saya ibu yanh berkewajiban menegur mereka. Lain2nya saya ber ''Aku dan Kamu''.
Pertanyaan 4 dari Bunda Rosa :
Melawan arus seperti apa rasanya tutah? Jangankan homeschooling, ke sekolah alam aja biasanya banyak yg 'care'
Jawab :
Yup, ketika beda dari main stream nya khalayak ramai, pasti lah disorot, dikomen (dicibir juga dibelakang).
Saya sering denger pertanyaan :
"kok anak mbak ngomongnya formal, kayak orang gede, kaya telenovela?"
"Kok mbak anaknya boleh main kotor2an di sungai sih?"
"Kok anaknya gak pernah ngerjain PR?"
"Kok anaknya gak pake seragam?"
"Kok anaknya gak hapal perkalian di kelas 2 sih?"
"Kok mbak ngajarin anaknya manjat2 sih?
"Kok anaknya berdebat sama kakaknya gak dibentak, kan songong itu?" bla bla bla
Tapi saya remind diri saya :
"kalau saya mendidik anak2 saya sesuai standar umum, maukah anak2 saya jadi anak yang umum?"
"Kalau saya didik mereka dengan cara umum yang diadaptasi dari cara konvensional, apa saya mau anak2 saya terbentuk jadi generasi lama yang tidak siap menghadapi zamannya sekian tahun ke depan?"
Saya juga remind diri saya bahwa pendidikan adalah investasi masa depan, maka anak yang dididik sekarang adalahh anak yang saya sedang persiapkan untuk menghadapi masa depan.
Saya sepakat dgn Ali bin Abu thalib yang bilang "didiklah anakmu sesuai zamannya", beliau aja yg ratusan tahun lalu mikir begitu, masa saya yg hidup zaman sekarang gak mendidik anak saya utk menghadapi zaman mereka nanti. Walau itu berarti saya melawan arus.
So what kita lawan arus kalau itu membuat anak2 kita jadi perenang handal di zamannya kelak. Daripada anak2 kita nanti jadi anak2 yg terseret arus, kasihan kan? Nanti terlambat kita ajarin gaya renang tahan arus. Orang2 yg Carewet itu kita maklumi aja, percampuran antara kepo, penasaran, pecinta kemapanan, dan kritikus alami kita. Kita share aja ilmu kita, hitung2 sedekah itu kan ya. Kalau gak terima ya "DL aja deh, let's see sekian tahun lagi ya"
Tapi tidak ada pilihan tanpa konsekwensi, tidak ada kemenangan tanpa perjuangan, tidak ada keyakinan tanpa pembuktian. Adanya grup ini, itu step besar utk meneguhkan kita yg mau ''beda'' atau lawan arus dari tetangga dan keluarga besar kita. Akan ada masanya anak2 kita yang jadi pembela terhebat kita, yakni saat mereka tampil jadi anak yang luar biasa ditengah2 ''anak normal'' lainnya.
Pertanyaan 5 dari Bunda Siti :
1. Saya pernah komplain karena bilang AKU dari trman ibu saya dan mertua saya. Karena kalau bilang AKU ga sopan. Lalu, bagaimana dengan anak saya karena Papanya pun masih sama dg ajaran ortunya kalau bilang AKU itu ga sopan, jadi harus sebut SAYA or Nama. Bagaimana saya harus menghadapinya, tapi jujur saya ga masalah.
2. Saya ga tau zaman sekarang, tapi banyak dengar kalau sekolahan negeri khususnya SD zaman sekarang kurang Oke, beda sekali dg Zaman dahulu, saya aja sekolah SD Negeri kanan kiri sawah, lapangan luas, tapi gurunya bagus2 sampai mengajarkan kita semua bidang seni. Menurut Tutah yg sudah pengalaman dg anak yang bersekolah, bagaimana dg sekolah SD negeri Zaman sekarang,
3. Sabtu ini Rhea mau tes observasi kelas toodler, kami sebagai orangtua ,pertanyaan2 apa saja yang perlu saya sampaikan kepada guru khususnya kepala sekolah.
Demikian prtanayaannya.
Jawab :
1. Tentang sapaan, kalau memang yang dihadapi adalah orangtua atau mertua kita, ya kita mengalah sedikit ya. Buat komitmen dgn anak utk membahasakan diri dgn nama atau saya di depan kakek nenek, dan dgn latihan ayah bunda menggunakan ''saya dan nama'' di depan kakek nenek dan anak2 akan meniru dgn alami. Tapi di dalam rumah kita ya tetap ber ''Aku Aku Ria''
2. Tentang komparasi sekolah zaman sekarang dgn zaman dulu. Kalau saya melihatnya ada pada perbedaan kwalitas gurunya. Zaman Moms SD dulu, guru2 kebanyakan adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Pada masa itu guru bukan profesi yg mencari salary dan benefit. Mereka adalah orang2 yg terpanggil jiwanya utk mendidik anak bangsa, orang2 yg suka anak2, orang2 yg bukan menjadikan posisi ini sebagai ladang komersil (zaman dulu gaji guru kecil, tunjangan minim). Sekarang menjadi guru bs menjadi pilihan karir (gaji lumayan, ada gaji 13, tunjangan HonDa alias Honor daerah dll), sehingga arus besar2 menerjang ladang pendidikan, banyak orang2 yg kesulitan cari kerja dgn ijasah S1 nya jadi guru honor dgn catatan nanti kuliah lagi ambil akta utk formalitas. ijasah memang di dapat, tapi menumbuhkan kecintaan pada anak, meluruskan niat menjadi pendidik sejati, mengubah karakter menjadi guru yg ''ramah anak'' itu tidak bisa di switch dalam hitungan satu dua tahun. Memang ada sertifikasi guru, tapi itu peningkatan skills mengajar, tp menjamin bisa meng-upgrade mental dan hati secara total kan? Buktinya Indonesia begitu kedodoran membawa guru2nya siap dgn kurikulum 2O13 yg menuntut guru jd fasilitator agar siswa2 tumbuh jadi pribadi yg kritis, analis, argumentatif, ilmiah, dll.
3. Pertanyaan yg diajukan saat anak tes masuk todler
"Di sekolah ini apa saja Bu/Pak yg akan diberikan pada anak?''
''Bentuk kegiatannya seperti apa?''
''Sehari-hari nanti apa yang akan dikerjakan anak saya bersama gurunya?''
''Gurunya sudah lama bergabung ya Bu/Pak?'' (Menggiring ke arah pertanyaan tentang pengalaman kerja dengan pendidikan gurunya).
''Ada pelatihan untuk guru?''
''Nanti ada Rapot perkembangan anak tidak?''
''Seperti apa bentuknya?'' Jangan lupa diperhalus dengan alasan "Supaya saya bisa bersinergi dengan sekolah dalam mendidik anak saya di rumah, makanya saya banyak tanya"
Perhalus dengan penjelasan seperti itu agar Kepsek tidak merasa di interogasi (maklum sekolah-sekokah bagus suka ada ego "Gak promosi juga udah laku kok sekolah ini"
Bahasan :
Belum bisa ber ''Aku Aku Ria'' ga kenapa2 Mom, nqnti juga pada masanya anak2 akan ber ''Aku Aku Ria'' kok pas masuk sekolah, meniru temann2nya. Jadi kan ada excuse kita ke neneknya "itu lhooo Nek, anak saya niruin teman2nya. Kasihan juga kalau gak ikut bilang ''Aku Kamu'', dia bilang "'Saya'' ke teman2nya jadi kayak anak bawang gitu posisinya. Lebih serem kalau ada temannya bilang "Gue", cucunya nenek blng "Saya'' tertindas banget kesannya" alasan hehehe...
Saya memang membiasakan berdialog dengan anak2, dan minta pendapat mereka tentang banyak hal : isu sosial, study kasus, teman2 mereka, dll. Saya juga ga malu minta pendapat mereka bila keputusan saya nantinya melibatkan mereka.
Seperti tadi saya bahas tentang Job Offer dari perusahan tempat saya kerja dulu (mereka menghitung usia anak saya sudah tidajkdiberi ASI lagi), jadi selesai Ultah anak, saya langsung ditelpon. Saya dapat tawaran part time kerja, saya cuma perlu sesekali melakukan mass interview dan psiko test, lokasinya di Jawa Tengah. Dulu anak saya SD kelas 1, saya kasih tau Good News and Bad News nya, baru mereka kritisi dan timbang2. Tapi sekarang sulung saya sudah kelas 4, jadi saya cuma kasih fakta, dia kritisi plus minusnya. Jafi loncat ujaran
''Berarti nanti Mommy nginep? Ninggalin kita dong? Kesana naik pesawat, kan bahaya? Berapa hari disana? Terus ade Axe gimana? Aku yang jaga?'' bla bla bla...
Saya jawab semua, mereka bilang fine dgn syarat ada sistem salary dan benefits : berapa perhari dan oleh2. Saya bargaining jadi berapp per-kepergian saya, dan pilih gaji uang atau oleh2 barang khas daerah2 yg saya kunjungi. Final nya "Gaji 5Orb perkeberangkatan, diseling dgn oleh2 : keberangkatan pertama digaji uang, keberangkatan berikutnya barang oleh2" DEAL!!!
Closingnya "Mom, papap udah tau soal ini?''
SAYA jawab "ya iyaaalaaah, istri tidak keluar rumah tanpa izin suami". hehehe
Saya ga bermaksud melatih mereka jd matre atau oportunis, saya mau mereka belajar menghargai pekerjaan dan punya komitmen terhadap nya, jd kritis dalam bargaining. Karena toh mereka juga mau2 aja kerja ''gratis'' ngasuh adik ketika saya pergi keluar utk urusan sosial.
Saya negonya di dapur sambil nemenin sulung saya goreng ikan, si bontot lagi asik main bola basket mini karena selesai maghrib saya buatin ring dari baskom bolong yg diikat di pintu (beda tipis antara kreatif dan irit) hahaha
Kita pergi ninggalin anak dgn alasan utk kebaikan mereka kan (buat biaya sekolah pastinya mah) tapi kalau kepergian kita tdk membuat mereka faham bahwa kita berjuang utk mereka, dan kepergian kita bisa membuat mereka ''untung'' maka kita yg akan merugi. Pada kesempatan yg lebih santai, sebelum tidur saya akan obrolkan lagi apa manfaat2 yg bisa mereka dapat dr kepergian saya, dr materi sampai non materinya.
Contek2an dalam kebaikan malah wajib hukumnya, ada hadits nya "barang siap melakukan kebaikan lalu diikuti orang lain maka dia mendapat pahala dari apa yg dilakukan org itu tanpa mengurangi pahala orang tsb" share aja, kalau ada sedikit yg bisa jadi referensi baut di modifikasi dan diimprovisasi sesuai kebutuhan Moms masing2, saya harap itu jd aliran pahala buat saya.
Pertanyaan 6 Bunda Maya :
Tutah mulai kapan suka tulis surat utk anak? Terus kapan aja tutah bilang I Love You?
Jawab :
Saya mulai tulis surat sejak dia mulai belajar baca. Bukan setelah dia lancar, karena justru keinginan dia buat tahu apa yg saya tulis jd dorongan dia utk lebih sungguh2 belajar baca.
Pertanyaan 7 Bunda Maya :
Tutah, saya juga tinggal sama mertua dan adik ipar. Mungkin karena bosan main sama saya, anak saya minta main sama tante atau eyangnya. Namanya anak2 pasti tangannya gratilan pegang ini itu dan kebanyakan dilarang sama tante dan eyang. Terkadang cara mereka melarang bikin kuping dan hati saya sakit. Mereka sering bentak : Lenka jangan!! Atau ''Lenka ga boleh!!'' Gitu tutah, kasian banget. gimana mengatasinya
Jawab :
Ummu Maya... Jangankan mertua, ibu sendiri juga sama (saya tinggal seatap dgn ibu), masih sering bilang saya tega kok. Anak saya jatuh, saya cuma bilang dari jauh saya cuma bilang "ayo bangun" dgn muka ceria, kadang saya liatin aja kalau jatuhnya ringan, ibu saya bilang "bangunin dong!!" padahal cucunya nengok aja ga, jatuh langsung bangun terus lanjut maen lagi.
Awalnya saya juga gemes, dan khawatir anak saya bingung ikut siapa, apalagi anak kedua bisa manfaatin pola neneknya yang helpful itu. Tapi setelah saya share sama psikolog di sekolah, saya harus membuat anak memilih aturan main, siapa yg mau diikuti "Mommy atau Nenek?" Walau kalimatnya kita perhalus "Dek, kalau yg begini begitu tolong ikut Mommy ya, kalau soal ini itu adek ikut nenek", saat anak usia anak 5 atau 7 tahun sudah bisa diajak diskusi kesepakatan2 apa saja yg mau dilaksanakan, dituangkan tertulis (tentunya dgn kita sisipkan misi2 kita tentang ke mandirian, keberanian tanggung jwb, dll).
Anak umur 5 tahun sudah bisa diajak 'bersekongkol' karena bagaimana pun kita ibunya, dia lebih butuh dan lebih sayang kita dari pada nenek atau tante, tanpa kita membuat nenek dan tante jadi peran antagonis.
Di usia 6 tahun anak2 sudah punya standar nilai, malah mereka tanya "kenapa sih nenek marah kalau aku ajak teman main masak2an di depan? Kan kita harus hormati tamu ya?" Saya jawab "nenek sukanya rumah rapi, jadi kalau ajak teman sebelum buka mainan bilang nenek nanti kamu rapihkan mainan bareng temen".
Seperti lagu klasik "satu satu aku sayang ibu" bukan tante atau nenek, maka jadikan kita nomor satu di hati mereka sehingga kredibilitas kita lebih baik dimata anak (saingan sehat, tanpa mejelekkan taoi unjuk prestasi aja). Anak akan lihat dan baca pola ''kalau aku ikut ibu pasti ujung2nya itu baik buat aku deh"
Nenek sama tante suka say Jangan, terus pake muka serius dan suara kenceng ya. Anak saya pernah bilang "nenek kok suka bentak aku sih larang ini itu" saya bilang "nenek itu orang betawi, seperti itu cara ngomongnya. Maksud nenek sebenarnya gini....., maksud nenek baik tapi caranya beda sama Mommy, lain kali kalau nenek lagu kayak gitu, ganti kegiatan lain ya yg lebih asik, tapi kalau yg mom sudah izin, bilang aja ke nenek sudah diizinkan Mommy. Kalau nenek ngotot, ngalah aja dapat pahala kok, berdebatnya sama Mommy aja ya" (semoga anak2 jadi belajar ikhlas juga atas nama adab ke orang tua zaman dahulu kala).
Kalau masih terlalu kecil buat diajak dialog, saya biasanya memperhalus cara neneknya "Kak, sini sama Mommy, nih Mommy punya sesuatu" atau "kak, lagi ngapain? Oh lagi manjat? Hati2 jatuh ya, nenek sayang kakak, gimana kalau manjatnya pake bantuan kursi yg kaki 4?" Jadi saya tetap nunjukin otoritas di depan siapapun bahwa anak saya boleh lakukan yg dia mau, tapi dgn cara yg aman sehingga yg di khawatirkan nenek dan tante yg protektif itu tidak lagi berlaku.
Dulu ibu saya nentang abis anak saya belajar manjat dari saya, tapi saya ajarkan cara manjat yg safety. Anak umur 3 tahun lebih ke 'dialihkan', diajak berkegiatan lain. Soal acak2 mainan, bundanya pasang badan ngerapihin, bilang ke anak tp sebenarnya ditujukan ke nenek "kakak mau main apa? Satu dulu ya mainannya, udah selesai rapihin bareng Mama, nanti baru ganti mainan lain" Jadi neneknya ga pusing bertebaran mainan di segala penjuru. Dan kita juga memahamkan anak perlunya satu perssatu pakai barang dan urutan kegiatan.
Kalau saya selain membiasakan seperti itu juga melokalisir wilayah bencana, alias anak di kasih zona berantakan, misalnya di kamar saya aja, tidak di kamar nenek, di ruang tamu, dll. Kalau tidak di kamar ya di karpet ajaib, alias nuang mainannya di karpet itu aja. Tapi soal kerapihan itu memang ''perang abakdi'' tetap berlangsung sampai sekarang, tapi tanpa emosi anak2 mengembagkan kemampuan ilmu kebalnya, dan neneknya bermetamorfosis jd lebih toleran.
Mertua itu biasanya Somse, merasa produk beliau sudah lulus uji kelayakan (anak laki2nya tuh), makanya rumah mau dijalankan dengan metode lama. Selain cara2 diatas dengan kita lebih fokus pada treatment ke anak dari pada nelongso mikir gimana menyadarkn orangtua yg sudah susah di otak atik lagi, sebaiknya kita jadikan suami sekutu dalam mendidik anak. Parenting itu bukan cuma utk ibu, tapi juga ayah. Jadi penting utk mengedukasi ayah anak2 bahwa dia harus punya andil mendidik anak baik itu langsung ke anaknya maupun menjadi pelindung bagi pendidik anaknya (baca: istrinya).
Daripada curcol ke ibu kurang tepat ilmunya, lebih baik kita ajak dia memahami bahwa produk didikan ibunya belum sempurna. Artinya ajak suami menyelami dirinya sendiri sehingga dia mengakui ada yg perlu diubah, diperbaiki, disempurnakan dari dirinya (misal: kurang komunikatif, agak kurang enakan, sama orang, masih sulit say No, kurang suka presentasi di kantor, kurang maksimal pedekate sama boss, bahasa kurang memikat pelanggan dan kurangg maksimal cari ide2 marketing (bagi yg kulakan), kurang tegaan alias ga tegas sama bawahan, dll.
Nanti kan bisa digiring ke pertanyaan "coba ingat2 apa perlakuan keluarga atau kebiasaan2 dalam keuarga yg bikin ayah jadi kayak gitu?" Atau "nach itu Yah, pegalaman ayah yg itu yg bikin ayah jadi kayak gini sekarang"
misal dia lagi santai cerita "ayah mah dulu kalau jatuh dari sepeda malah di omelin sama ibu.
Nanti akan bisa dibawa pada conclusion dia sendiri "wah iya ya, ternyata treatmen ibuku dulu membekas sampai sekarang aku jadi kayak gini" Ahaaaa!! Kalau dia sudah mengaku baru kita ajak pelan2 "Ayah mau anak kita persis kayak Ayah sekarang? Atau mau dia lebih baik dr ayah? Kalau mau lebih baik, berarti jangan biarkan ibu pake cara lamanya mendidiik ayah, atau mau pake cara aku? Kalau mau pake cara aku, dukunganya mana? (Kedip2 genit deh ke si ayah, jangan pake nyolot ya).
''The first is the hardest, but every step always start from the first''
Jadi, perjalanan proses ''long life learning'' lah yg membuat jd ibu itu ''mudah''. Anak pertama memang yg tersulit, karena masih proses penggodokan formulasi "saya mau jd ibu seperti apa ya''
Tuhan tau kapasitas saya cuma segitu, urus 3 anak. Tapi anak2 remaja saya banyak. saya punya binaan mahasiswa2 saya yg bergabung dalam Anak Matahari (saya namakan demikian karena energi positif dan antusiasme mereka luar biasa terang), jd saya belajar juga mendidik anak2 remaja. Kasus2nya lumayan berat, sampe ada yg kabur dr rumahnya terus bapaknya nyari ke saya karena DP terakhirnya foto dia dgn saya dgn status "Mommy, I'm lucky to have you" Jadi insha Allah kita bisa share terus sampai anak2 Moms semua pada remaja kali yaa. Friends forever deh kita ya...
Morning Dear Moms, pagi ini saya menulis sebagai reminder bagi diri saya sendiri. Barangkali bisa sedikit memberi warna pada hari teman2 di Kijar.
Ibu Kijar yang berpijar di dalam rumah...
Kita tidak bisa memilih dibesarkan oleh ibu yang bagaimana, atau siapa. Tapi kita leluasa membuat pilihan ingin menjadi ibu yang bagimana. Kita bukan ibu yang sempurna (jangan jadi kritikus yang terlalu keras pada dirimu), karena memang tidak ada ibu yang sempurna, karena itulah Allah memberi kita perangkat sempurna untuk belajar jadi ibu yang tumbuh berkembang bersama kita.
Ibu-ibu yang tampak hampir ''sempurna'', mereka adalah ibu-ibu yang sudah berproses bertahun-tahun yang panjang untuk menemukan formulasi untuk dirinya lewwt kesalahan dan pelajaran yang dipetik dari sumber daya alam dan manusia, dan pertolongan Tuhan diatas segalaNya (tentu kita tidak berharap kemudahan tanpa campur tanganNya kan?).
Dengan usaha yang lebih baik, maka kitapun akan menemukan formulasi milik kita sendiri (lagi-lagi kita mempunyai pilihan kan? Fakta yang melegakan). Kita memang bukan ibu yang sempurna, tapi kita ibu beruntung yang menemukan kesempurnaan hari lewat keajaiban-kejaiban kecil yang diperlihatkan anak-anak kita, asalkan kita tahu bagaimana dan dimana menemukan keajaiban itu.
Kita ibu tidak sempurna yang tidak bisa menemukan keajaiban seperti Siti Hajar menemukan air memancar dari kaki Ismail di padang pasir, tapi kita bisa menemukan dalam diri kita keajaiban sebagai seorang ibu yang sanggup berjuang melewati Safa dan Marwah kita yakni tatkala kita tidak berhenti bergerak dan mencari diantara dua titik Safa dan Marwah kita : belajar-mencoba, mencoba-belajar.
Kita mungkin bukan obu sebesar Siti Hajar yang dicatat sejarah dunia. Tapi kita ibu yang akan mengukir kisah dan ilmu dalam sejarah anak-anak kita, dan saat mereka berubah menjadi salah satu perubah peradaban di masa mereka pun seperti anak lain, mereka akan mengenang bagaimana cara mereka dibesarkan. Kita tidak bisa memilih seberapa panjang usia kita, tapi kita bisa memilih ingin dikenang dengan cara sebagai ibu yang bagimanakah oleh anak-anak kita kelak?
By Tutah.
0 comments