KPA bagian 1
Intro :
23.02.15
Hy mommies,
Seiring anak sudah mulai lancar berbicara atau paling tidak menunjukan ekpresi atas keinginannya, gaya komunikasi dalam pengasuhan akan menjadi penentu hubungan apakah semakin merenggang atau semakin erat. Temukan kunci untuk berkomunikasi dengan anak.. agar perasaan kasih sayang terhadap anak-orangtua akan selalu terjalin indah, langgeng.. tidak hanya saat bayi, balita, anak-anak tapi juga harus hingga anak remaja dan dewasa. Jangan sampai rusak atau patah karena tajamnya si "lidah yang tak bertulang"
Resume Seminar ini di tulis oleh seorang kawan di grup YKBH yang telah mengikuti workshop /pelatihan KPA (Komunikasi dalam pengasuhan anak) selama dua hari oleh Ibu Elly Risman.
*artikel ini di bagi 2 part karena sangat panjang. Part pertama ini dulu yah :)
Semoga menginspirasi!
-------------------------
Disclaimer :
1. Artikel berikut bisa di temukan di bentuk forum parenting lainnya. Artikel ini disebarkan dengan sumber yang disebutkan dengan tujuan berbagi informasi berharga.
2. Artikel berikut bisa jadi belum cocok untuk kondisi masing-masing keluarga namun memahami isi materi dengan baik bisa jadi sangat berguna di kemudian hari.
3. Dipersilahkan menyebarkan artikel dengan menyebutkan sumbernya.
4. Silahkan menyimpan artikel atau bisa mengunjungi blog Kijar
5. Di persilahkan untuk berkomentar dan bertanya atas isi materi untuk di diskusikan bersama-sama dengan bahasa yang hangat dan santun.
---------------------------
SOURCE : www.ourlittlenotes.wordpress.com
Komunikasi dalam pengasuhan Anak (KPA)
Bagian 1
Merasa familiar tidak dengan situasi berikut ini?
Pagi hari, ketika bunda sedang menyiapkan sarapan untuk anak-anak dan ayah sedang bersiap-siap berangkat ke kantor, padahal waktu tinggal 5 menit lagi sebelum pergi meninggalkan rumah, tiba-tiba… Anak memanggil…
“Bundaaaa… Topi Kakak hilang Bunda, bagaimana ni Bunda?? Padahal kan Kakak harus pakai topi ke sekolah hari ini…”
Eh, tak lama kemudian, si adik menyusul memanggil… “Bundaaaa… Aku lupa kalau hari ini ada pelajaran Matematika, padahal ada PRnya dikumpulkan untuk hari ini… Bagaimana ini bunda???”
Belum lagi ditambah kalau si bungsu memanggil bundanya juga…
“Yaaahhh bundaaa… Kok telur untuk bekal adik didadar bukan diceplok?? Bunda kan tau kalau adik tidak suka telur dadar… Bunda bagaimana siiii? Kayak tidak tahu kalau adik sukanya telur ceplok?? Aaaah, sebal deh!!”
Sutris?? Pasti lah yaaaa… Tidak lama kemudian, mungkin bunda akan bilang dengan kecepatan super duper ekspress (Wussshhh…)
“Kakak, bagaimana si Kakak kok topinya bisa hilang? Masak berkali-kali hilangnya? Memangnya Kakak lagi apa si? Kalau hilang, bilang Bunda dooong.. Kan nanti bunda bisa belikan lagiii…
Adik juga, kalau ada PR diingat-ingat dong Dik, pulang sekolah, langsung kerjakan PRnya.. Tuh akibatnya kalau banyak main… Biar nanti dihukum gurunya…
Haduuuh Nak, sudah deh tidak perlu rewel… Sudah bawa bekalnya dan makan aja telur ceploknya… Bunda sedang buru-buru niii…”
Sounds familiar? Yes, for me too… Ihihiii…
Bagaimana dengan situasi yang satu ini… Di pagi hari sebelum meninggalkan kantor, bunda berpesan untuk si mbak ART di rumah… Dengan kecepatan super kilat pula… (Wussshhh…)
“Mbak Iyem, saya mau berangkat dulu yaaa… Nanti tolong masak sayur bening bayam, telurnya di balado, dan masak bakwan jagung.. Sayur beningnya jangan diberi gula ya Mbak, soalnya Ibu itu diabetes, nanti Ibu kambuh sakitnya… Jangan lupa juga ya kasih obat ke Kakak, obatnya ada di lemari, rak paling atas, yang kardus kuning tulisannya warna merah… Kasih obatnya setelah makan ya Mbak… Oia, baju kantor saya tolong dibawa ke laundry ya Mbak, minta untuk diambil besok Dst… Dst… ”
Setelah kembali ke rumah, kira-kira beres tidak pekerjaan si mbak?
Kita inginnya anak atau suami atau si mbak atau siapa pun lawan bicara kita dapat memahami pesan yang kita sampaikan… Tapiiii… Lebih seringnya pesan yang ingin disampaikan justru tidak diterima atau bahkan tidak dilakukan..
Mengapa? Yaaa… Karena gaya komunikasi kita yang keliru… Tujuannya ingin memberi nasehat kepada anak agar mengerjakan PRnya, eeeh, tuh anak lupa lagi, lupa lagi… Atau ingin si mbak melakukan pekerjaannya dengan benar, eeeehhh, malah salah lagi, salah lagi… Jika gaya komunikasi kita seperti contoh-contoh di atas, bukan hanya pesan tidak sampai, kita juga mudah stress…
Nah, di workshop KPA inilah saya belajar bagaimana cara berkomunikasi yang efektif ketika masalah-masalah timbul dalam kehidupan sehari-hari, terutama dengan sang buah hati… Masalah perlu dikomunikasikan dengan baik kan? Kalau tidak, tidak akan pernah beres. Dan akibatnya, semua masalah menumpuk, bukan hanya kita yang menjadi korban namun juga anak…
Kunci dalam komunikasi ialah PERASAAN. Perasaan mendominasi dalam komunikasi. Jika kita ingin pesan yang kita sampaikan dapat diterima dengan baik oleh lawan bicara kita, maka pahami lah perasaannya, melalui kata-kata yang ia sampaikan atau bahasa tubuh yang ditunjukkan. Coba kita amati contoh kasus di atas ya.. Dalam kondisi tergesa-gesa , si bunda memberi nasehat kepada si adik agar selalu mengerjakan PR. Namun, yang terjadi, si adik tidak memahami nasehat bundanya, atau malah mungkin tidak mengerjakan PRnya lagi di kemudian hari… Ketika si anak memanggil bundanya, pada dasarnya, ia sedang merasa bingung atau bahkan takut mendapat hukuman dari gurunya karena tidak mengerjakan PR. Anak sedang merasakan perasaan negatif. Ketika sedang merasakan perasaan negatif, seseorang tidak dapat menerima informasi baru dalam otaknya.
Mengapa? Karena arus informasi di otak terbentur oleh perasaan negatifnya tersebut.
Di otak manusia, Cerebral Cortex ialah pusat kecerdasan, sementara Limbic System ialah pusat perasaan. Informasi bergerak melalui Brain Stem, kemudian ke Limbic System selanjutnya ke Cerebral Cortex (saya ilustrasikan dengan panah merah). Agar suatu informasi dapat diolah dan direkam oleh otak, sebuah informasi harus mencapai bagian Cerebral Cortex tersebut.
Namuuun… Jika seseorang sedang dikuasai perasaan negatif, informasi mentok atau terputus hanya sampai ke Limbic System nya, gate informasi tertutup karena tidak ada neurotransmitter yang menghubungkan Limbic System ke Cerebral Cortex. Got it!
Jadi jelas kan mengapa jika seseorang yang sedang sedih atau kecewa atau marah atau perasaan negatif lainnya kemudian masih “diceramahi” macam-macam, informasi apapun yang kita sampaikan tidak bisa diolah oleh otaknya. Apalagi pada anak-anak, dimana wiring otaknya belum sepenuhnya terhubung. Jadi, jika ingin nasehat atau pesan kita ingin diterima oleh orang lain terutama anak kita, yang diperlukan ialah memahami perasaannya terlebih dahulu.
Karena pada dasarnya, manusia memiliki lima kebutuhan dasar dalam komunikasi yaitu agar perasaannya didengar, dikenali, diterima, dimengerti dan dihargai (Disingkat “5D”).
5D ini juga merupakan kunci komunikasi.
Jadi, apa dong yang harus dilakukan jika anak datang tiba-tiba berteriak-teriak seperti di atas? Sesuai dengan prinsip 5D di atas, yang sebaiknya kita lakukan ketika seorang anak sedang mengutarakan perasaannya ialah:
1. Dengarkan apa yang ia sampaikan dengan mata dan hati (Ingat ya dengan mata dan hati, bukan hanya dengan telinga… #selfreminder), coba pahami makna kata yang ia utarakan dan bahasa tubuhnya. Contoh: Ketika anak berkata, “Yaaahhh bundaaa… Kok telur untuk bekal adik didadar bukan diceplok?? Bunda kan tau kalau adik tidak suka telur dadar… Bunda bagaimana siiii? Kayak tidak tahu kalau adik sukanya telur ceplok?? Aaaah, sebal deh!!”. Bunda kemudian merunduk kemudian menatap wajah dan matanya serta mendengarkan keluh kesahnya.
2. Terima perasaannya
3. Kenali atau identifikasi perasaannya dan namakan Contoh: Bunda kemudian berkata, “Adik sepertinya tidak suka telur ceplok ya”. Si adik kemudian akan mengatakan, “Iya, Bun”. Bunda melanjutkan, “Bunda minta maaf ya kalau begitu, jadi bagaimana ya telur ceploknya?” Jika anak dibiasakan untuk mengenal perasaannya, diharapkan ia lama-kelamaan akan secara langsung mengutarakan perasaannya tanpa perlu diminta atau dikorek-korek terlebih dahulu.
Menjadi lebih terbuka dan menjadikan kita sebagai tempat yang paling ia percaya untuk mengutarakan perasaannya (Nanti akan ada penjelasan tentang ini yaaa…)
Selain itu, dalam proses berkomunikasi 5D, kita memiliki kesempatan atau “golden moment” untuk mengajak anak berpikir kritis mengatasi masalahnya dengan bertanya seperti halnya di atas… “Bunda minta maaf ya kalau begitu, jadi bagaimana ya telur ceploknya?” Inilah kesempatan bagi kita untuk mengajak anak berpikir untuk mengatasi masalahnya sendiri…
Tahan argumen, kemudian beri anak kesempatan BMM (Berpikir, Memilih, dan Memutuskan).
Coba bandingkan jika dalam kondisi yang sama bunda menjawab… “Haduuuh adik, sudah deh tidak perlu rewel… Sudah bawa bekalnya dan makan aja telur ceploknya… Bunda sedang buru-buru niii…”. Tanpa kita sadari, sebenarnya kita sudah memberi solusi untuk anak yaitu memintanya untuk membawa dan menghabiskan telurnya, melewatkan golden moment anak untuk berpikir kritis… Sayang kan kalau golden moment nya terlewati, padahal pondasi anak untuk belajar kritis bisa dimulai sejak dini…
Bayangkan kalau anak jarang diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, bukan hanya anak tapi orangtua juga akan kesulitan untuk terus menerus mendampingi anak hingga dewasa. (Hadeeehhh… Bagian ini berasaaa banget… Ketika kuliah, diminta dosen-dosen berpikir kritis untuk membuat rencana penelitian rasanya susyaaaahhh banget… Ternyata, bawaan dari keciiil… Hiks!)
Setelah anak mengungkapkan perasaannya, apresiasi keberaniannya untuk mengutarakan perasaan dan sudah dapat memberikan solusinya.
Mengidentifikasi perasaan anak ibaratnya seperti tebak-tebakan… Misalnya si adik sedang manyuuun aja sepulang sekolah. Kita dapat bertanya, “Nak, sedang sedih ya?”. Anak mungkin akan menjawab, “Iya Bun/Yah, karena ini, ini dan ini di sekolah…”.
Atau bisa jadi tebakan kita salah. Misalnya kita bertanya “Nak, sedang sedih ya?”. Anak menjawab, “Tidak kok, Bun/Yah...”.Kita selanjutnya bisa bertanya, “Oh, bunda/ayah salah ya. Lalu apa dong nak?”. Kita bisa menebak atau menggali dari bahasa tubuh anak, namun setiap orang itu unik, jadi mungkin saja pendekatan seperti ini tidak bisa diterapkan kepada setiap anak. Ingat, tahan bertanya mengapa secara langsung, beri kesempatan anak untuk mengenali perasaannya, setelah itu tanya mengapa. Mendengar, mengidentifikasi atau menamakan perasaan anak tidak hanya untuk perasaan negatif namun juga perasaan positif.
Misalnya si kakak pulang dari sekolah, berlari-lari menghampiri kita, kemudian berkata, “Bundaaa.. Bundaaa… Aku menang lomba lari bundaaa, aku juara lho…”. Kita bisa merespon dengan, “Alhamdulillaah, kakak bahagia sekali ya jadi juara?” atau dapat juga direspon dengan, “Alhamdulillaah, kakak hebat berlarinya… Bunda bangga, nak!”. Untuk perasaan positif, tidak mesti selalu dinamakan namun dapat juga dibuat sebagai pernyataan. Oke!
Dari cerita panjang lebar di atas lalu apa manfaatnya berkomunikasi 5D dengan anak? Manfaatnya ialah, jika kita membiasakan untuk menerima perasaan anak, ia akan; mempelajari berbagai perasaannya dan perasaan orang lain, mengekspresikan perasaannya dengan benar, ia memiliki empati terhadap orang lain, dan ia juga memiliki model yang baik dari orangtuanya (teladan).
Jika seorang anak merasa perasannya diterima, ia akan merasa; nyaman, anak merasa bahwa dirinya penting dan berharga, perasaan negatif yang menghambat hilang, orangtua dapat mengetahui masalah yang sebenarnya terjadi, hubungan menjadi baik, dan yang paling penting tumbuh kepercayaan dan saling menghargai antara anak dan orangtua. Bayangkan jika anak tidak percaya kepada orangtuanya untuk mengutarakan perasaannya, kepada siapa lagi anak harus mencari bahu untuk bersandar ketika ia butuh seseorang untuk mendengar? Misalnya, ketika anak sedang bingung karena HP-nya hilang dan ingin curhat kepada orangtuanya, namun orangtuanya justru menghakimi dan memarahinya, ia akan sungkan untuk curhat apa pun (terutama pengalaman negatif) kepada orangtuanya. Apakah kita mau ia lebih percaya kepada teman-temannya? Mungkin masih cukup baik jika ia menemukan teman-teman yang baik dan sholeh. Jika tidak? Bagaimana kalau ia menemukan teman-teman yang justru menjerumuskannya pada geng motor, narkoba, atau seks bebas dan pronografi?? Na’uudzubillaahmindzalik ya Rabb…
Sebaliknya, jika anak diabaikan perasaannya, ia akan merasa; bingung dan kesal karena tidak tersalurkan dengan baik, tidak percaya dengan perasaannya sendiri, tidak dapat mengenali perasaannya. Dan yang paling menyedihkan ialah hal ini bisa menyebabkan anak merasa tidak percaya diri (PD) atau bahkan mengakibatkan anak memiliki konsep diri negatif.
Pada masa anak-anak, otak anak berada pada gelombang alfa, segala informasi yang diterimanya dapat disimpan dengan mudah pada memori jangka panjangnya. Jika kita abaikan, jika kita beri label buruk, maka yang ia rasakan bahwa itulah dirinya, terabaikan, sehingga menjadi konsep dirinya…
Ada satu contoh yang menarik karena perasaan diabaikan.. Bagi kita pasangan suami istri, ngambek-ngambekan normal kaaan?? Bagi para istri misalnya, lagi mayuuun atau cemberut bersenti-senti, tapi masih aja dicuekin sama suaminya.. Pernah tidak merasa begitu? (Kalau saya si ya lumayan sering, eheheee… ). Mungkin, ini disebabkan karena para suami itu, sewaktu kecilnya perasaannya diabaikan. Di tradisi orangtua dulu, jika seorang anak laki-laki jatuh, kita sering dengar kan, “Sudah tidak apa-apa, jangan menangis… Anak laki-laki kuat, tidak boleh menangis…”. Nah tuh kan?? Wajar kalau suami kita cuek, lha sewaktu kecilnya aja sering dicuekin… Ihihiii… (Peace ah!)
Yah, meskipun, mungkin juga disebabkan karena bawaannya juga kali ya…
Selain kata-kata, yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi ialah bahasa tubuh. Ingat peribahasa, “Action is louder than words” kan? Nah begitulah bahasa tubuh kita dalam berkomunikasi. Bahasa tubuh merupakan sesuatu yang suliiit sekali dikontrol, bahasa tubuh tidak bisa berdusta atau menunjukkan perasaan yang sesungguhnya. Jadi ketika lawan bicara kita berbicara atau mendengarkan, amati perubahan gerak dan juga suaranya, karena hal-hal tersebut yang menunjukkan perasaannya. Jika anak datang dengan menunduk, mungkin ia sedang kecewa atau sedih. Selanjutnya, kita bisa menunjukkan rasa empati kita.
*to be continued
To KPA part 2
0 comments